Jakarta – Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan langkah monumental dalam transisi energi dengan mengimplementasikan program bahan bakar campuran biodiesel 40% (B40) yang direncanakan akan dimulai pada tahun 2025. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot, menegaskan bahwa persiapan untuk pelaksanaan program B40 ini sedang berlangsung dengan baik dan diharapkan dapat berjalan lancar.
Yuliot menyatakan bahwa kebutuhan biodiesel untuk mendukung mandatori B40 diperkirakan mencapai 15,6 juta kiloliter per tahun. Jumlah ini mencakup distribusi ke seluruh wilayah Indonesia, sehingga kesiapan bahan baku dan rantai pasok menjadi prioritas utama. Tantangan utama dalam implementasi B40 tidak hanya terkait ketersediaan bahan baku, tetapi juga keberagaman kondisi geografis Indonesia.
Kementerian ESDM membuka diri terhadap masukan dari berbagai badan usaha untuk memastikan kelancaran implementasi B40. Kolaborasi ini diharapkan dapat mengatasi berbagai tantangan yang ada, termasuk dalam hal logistik dan distribusi bahan bakar ke berbagai daerah di Indonesia.
PT Pertamina (Persero) telah mempersiapkan dua fasilitas kilang utama untuk mendukung produksi biodiesel B40, yakni Refinery Unit III Plaju yang berlokasi di Palembang dan Refinery Unit VII Kasim di Papua. Selain itu, proses pencampuran bahan bakar solar dengan bahan bakar nabati akan dilakukan oleh Pertamina Patra Niaga, yang bertanggung jawab atas pendistribusian bahan bakar ke seluruh wilayah Indonesia.
Selain fokus pada B40, Pertamina juga telah berhasil memproduksi bioavtur atau Sustainable Aviation Fuel (SAF) dengan campuran 2,4% bahan bakar berbasis sawit. Produksi ini dilakukan di Green Refinery Kilang Cilacap melalui metode co-processing, yang menunjukkan komitmen Pertamina dalam mendukung energi berkelanjutan.
Implementasi program B40 merupakan langkah strategis bagi Indonesia dalam mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan.