HALUAN.CO – NASA mempercepat rencana pengembangan reaktor tenaga nuklir di Bulan yang ditujukan untuk selesai pada tahun 2030. Inisiatif ini merupakan bagian dari upaya jangka panjang Amerika Serikat untuk membentuk tempat tinggal manusia secara permanen di permukaan Bulan.
Laporan dari Politico mengungkapkan bahwa pimpinan sementara NASA menyebut bahwa China dan Rusia juga sedang mengembangkan rencana serupa. Ia mengingatkan bahwa dua negara tersebut “berpotensi mendeklarasikan zona terlarang” di Bulan.
Berdasarkan laporan BBC pada Selasa (5/8/2025), sebagian ilmuwan mempertanyakan apakah proyek ini realistis, terutama mengingat pemotongan besar terhadap anggaran NASA dalam waktu dekat.
Beberapa peneliti bahkan menilai bahwa inisiatif ini bisa jadi lebih dilatarbelakangi oleh strategi geopolitik daripada murni tujuan ilmiah.
Reaktor Bertenaga 100 Kilowatt Jadi Target Awal
Sean Duffy, yang saat ini menjabat sebagai kepala sementara NASA sekaligus Menteri Transportasi AS yang diangkat oleh Presiden Donald Trump, telah meminta perusahaan swasta untuk mengajukan rancangan reaktor nuklir dengan kapasitas minimal 100 kilowatt.
Meskipun daya tersebut relatif kecil—di bawah kapasitas turbin angin di darat yang dapat menghasilkan 2-3 megawatt—sejumlah pakar menilai teknologi ini mungkin menjadi satu-satunya solusi untuk menyediakan pasokan daya berkelanjutan di Bulan.
Pasalnya, satu hari di Bulan setara dengan sekitar 28 hari di Bumi, dengan dua minggu penuh cahaya matahari diikuti dua minggu kegelapan, menjadikan energi surya sulit diandalkan.
“Membangun habitat Bulan yang sederhana untuk menampung kru kecil membutuhkan pembangkit energi berskala megawatt. Hanya dengan panel surya dan baterai saja tidak dapat memenuhi kebutuhan ini secara andal,” saran Dr Sungwoo Lim, dosen senior di University of Surrey.
“Energi nuklir tidak hanya diinginkan, itu adalah hal yang tak terhindarkan,” tambah Lim.
Lionel Wilson, guru besar di bidang ilmu bumi dan planet dari Lancaster University, menyebutkan bahwa secara teknis proyek ini bisa diwujudkan asal didukung oleh pendanaan yang memadai, apalagi mengingat desain reaktor berukuran kecil sudah tersedia.
“Ini hanya masalah memiliki cukup peluncuran Artemis untuk membangun infrastruktur di Bulan pada saat itu,” ungkapnya.
Namun begitu, proses peluncuran material radioaktif dari Bumi tetap menghadirkan risiko tersendiri.
“Meluncurkan bahan radioaktif melalui atmosfer Bumi menimbulkan masalah keselamatan. Anda harus memiliki lisensi khusus untuk itu, tetapi itu bukan hal yang mustahil,” kata Dr Simeon Barber dari Open University.
Kompetisi Eksplorasi Bulan Antarnegara Meningkat
Sejumlah negara seperti Amerika Serikat, China, Rusia, Jepang, dan India kini aktif bersaing dalam mengeksplorasi Bulan, bahkan berencana membangun koloni tetap di sana.
Duffy menekankan perlunya bergerak cepat agar teknologi energi luar angkasa ini bisa direalisasikan secepat mungkin.
“Untuk benar-benar memajukan teknologi penting ini yang dapat mendukung ekonomi Bulan di masa depan, pembangkit energi jarak jauh di Mars, dan untuk memperkuat keamanan nasional kita di luar angkasa, sangat penting bagi badan antariksa untuk bergerak cepat,” kata Duffy, dikutip New York Times.
Sebenarnya, gagasan mengenai reaktor nuklir di Bulan sudah diperkenalkan sebelumnya. Pada 2022, NASA mengeluarkan tiga kontrak bernilai total 5 juta dolar AS kepada beberapa perusahaan untuk mendesain prototipe.
Namun, dorongan untuk mempercepat realisasinya belakangan ini menimbulkan tanda tanya, terlebih setelah administrasi Trump mengurangi anggaran NASA untuk tahun 2026 sebesar 24 persen. Pemangkasan ini juga berdampak pada proyek-proyek penting lainnya seperti misi pengembalian sampel dari Mars.
“Sepertinya kita kembali ke masa perlombaan ruang angkasa lama, yang dari perspektif ilmiah, agak mengecewakan dan mengkhawatirkan,” kata Barber.
“Persaingan dapat menciptakan inovasi, tetapi jika ada fokus yang lebih sempit pada kepentingan nasional dan pembentukan kepemilikan, maka kita dapat kehilangan pandangan tentang gambaran besar, yaitu menjelajahi tata surya dan seterusnya,” tambahnya.
Kekhawatiran atas Klaim Wilayah dan Koordinasi
Pernyataan Duffy mengenai potensi “zona terlarang” kemungkinan merujuk pada Artemis Accords, sebuah kesepakatan internasional yang ditandatangani tujuh negara pada 2020, untuk menetapkan prinsip kerja sama dan perlindungan aset negara di permukaan Bulan.
“Jika Anda membangun reaktor nuklir atau basis apa pun di bulan, Anda kemudian dapat mulai mengeklaim bahwa Anda memiliki zona keselamatan di sekitarnya karena Anda memiliki peralatan di sana,” kata Barber.
“Bagi sebagian orang, ini setara dengan, ‘kami memiliki bagian Bulan ini, kami akan beroperasi di sini, dan Anda tidak bisa masuk’,” jelasnya.
Namun, Barber juga menggarisbawahi bahwa terdapat tantangan besar dalam koordinasi teknis maupun logistik.
Program Artemis 3 milik NASA yang dirancang untuk mendaratkan manusia di Bulan pada 2027 masih menghadapi hambatan, baik dari sisi pendanaan maupun jadwal.
“Jika Anda memiliki daya nuklir untuk sebuah pangkalan, tetapi Anda tidak memiliki cara untuk membawa orang dan peralatan ke sana, maka itu tidak banyak manfaatnya,” ujarnya.
“Rencana ini sepertinya belum cukup terkoordinasi saat ini,” ucapnya.