Jakarta – Setiap tanggal 25 Desember, umat Kristiani di seluruh penjuru dunia merayakan Hari Natal sebagai lambang asa dan kasih sayang. Namun, tidak semua negara mengizinkan perayaan ini. Salah satu negara yang melarang perayaan Natal adalah Korea Utara. Di bawah kepemimpinan Kim Jong Un, larangan ini semakin ditegaskan pada tahun 2016. Namun, penolakan terhadap Natal sebenarnya sudah dimulai sejak lama, tepatnya sejak Dinasti Kim berkuasa pada tahun 1948, dengan kebijakan ketat terhadap kebebasan beragama.
Banyak warga Korea Utara yang sama sekali tidak mengenal Natal. Salah satu contohnya adalah Kang Jimin, seorang pembelot dari Korea Utara. Begitu pula dengan Ji Hyun Park, yang melarikan diri dari Korea Utara pada tahun 1998. Hingga tiba di Inggris, ia tidak pernah mendengar tentang Natal dan bahkan mengira Boxing Day adalah acara olahraga. Fenomena ini menunjukkan betapa tertutupnya informasi mengenai perayaan Natal di negara tersebut.
Meskipun Natal dilarang, pohon Natal yang dihiasi pernak-pernik dan lampu dapat ditemukan di Pyongyang. Pohon ini berdiri sepanjang tahun sebagai pajangan, namun warga Korea Utara mungkin tidak memahami makna konotatifnya dengan perayaan umat Kristiani. Hal ini menambah ironi terhadap situasi di negara tersebut.
Menurut Timothy Cho, seorang pembelot Korea Utara lainnya, ada kemungkinan beberapa warga yang menganut Kristen merayakan Natal secara diam-diam. Namun, perayaan ini dilakukan dengan sangat hati-hati dan tersembunyi. Sebagai pengganti Natal, warga Korea Utara memperingati kelahiran Kim Jong Suk, nenek Kim Jong Un, pada malam Natal, 24 Desember. Mereka diwajibkan untuk berziarah ke Hoeryong, tempat kelahiran Kim Jong Suk, dengan membawa bunga dan melakukan perayaan untuk menghormati istri pemimpin tertinggi pertama negara itu.
Meskipun Natal dilarang, terdapat sejumlah gereja Kristen di Korea Utara. Namun, gereja-gereja ini berbeda dari gereja pada umumnya. Menurut Pusat Basis Data Hak Asasi Manusia Korea Utara (NKDB), terdapat 121 fasilitas keagamaan di negara tersebut yang dikendalikan oleh otoritas setempat. Fasilitas ini meliputi 64 kuil Buddha, 52 kuil Cheondoism, dan 5 gereja Kristen.
Selain Korea Utara, beberapa negara lain seperti Somalia, Tajikistan, dan Brunei juga melarang perayaan Natal sejak beberapa tahun silam. Di negara-negara ini, jika ada yang ketahuan merayakan Natal, mereka dapat dijatuhi hukuman penjara hingga lima tahun.