Pati Memanas: Ketika Pajak Memicu Runtuhnya Kepercayaan Publik

Husni Rachma
3 Min Read

HALUAN.CO – Di Pati, Jawa Tengah, sebuah kebijakan fiskal memicu ketegangan yang berkembang menjadi krisis politik serius. Kenaikan PBB-P2 hingga 250 persen oleh Bupati Sudewo awalnya dianggap masalah teknis. Namun, dampaknya jauh lebih luas, menyebabkan gelombang protes yang berujung pada tuntutan agar ia mundur.

Tekanan publik yang kuat memaksa pembatalan kebijakan tersebut. Namun, pembatalan itu tidak meredam kemarahan warga. Ribuan orang tetap turun ke jalan. Mereka menduduki pusat kota, melempar kantor pemerintahan, dan menggelar simbol-simbol seperti keranda jenazah sebagai bentuk kekecewaan terhadap kepemimpinan Sudewo.

Dalam pandangan David Easton, legitimasi pemimpin bertumpu pada dukungan atas kebijakan serta kepercayaan jangka panjang. Di Pati, dua-duanya runtuh. Dukungan terhadap kebijakan hilang akibat kenaikan pajak dan kepercayaan jangka panjang pun sirna meski kebijakan dicabut.

Pernyataan Bupati sebelum protes besar, yakni ia mengeklaim jika 50.000 orang turun ke jalan, ia tidak akan gentar, memperburuk persepsi publik. Dalam teori framing, pernyataan itu menggambarkan pemimpin yang menciptakan konflik secara tidak perlu, memperlihatkan sikap menantang terhadap warga.

Konflik yang awalnya bersifat kebijakan berubah menjadi pertarungan identitas antara pemimpin dan rakyat. Tujuan demonstrasi tak lagi sekadar menuntut kebijakan dicabut, melainkan menjatuhkan Bupati sebagai bentuk kemenangan moral.

Berita Lainnya  Kini Ketua TPN Ganjar, Arsjad Rasjid Patut Dipertimbangkan Jadi Cawapres: Buat Ekonomi Indonesia Kuat

Simbol-simbol dalam aksi unjuk rasa, seperti keranda, truk tronton, dan pendudukan ruang publik, bukanlah tindakan spontan. Ini merupakan bentuk komunikasi politik visual yang kuat. Keranda menunjukkan kematian moral seorang pemimpin. Truk melambangkan kekuatan dan keteguhan. Pendudukan alun-alun memperlihatkan klaim rakyat atas ruang kekuasaan.

Ketegangan ini mengarah ke dua jalur tekanan: dari massa di jalanan dan potensi proses formal pemakzulan oleh DPRD. Jika dua kekuatan ini bertemu, bukan tidak mungkin pemakzulan menjadi kenyataan.

Kasus ini bisa menjadi preseden penting bahwa gerakan sosial lokal mampu memengaruhi pengambilan keputusan tingkat nasional. Kejatuhan pemimpin tidak hanya karena pelanggaran hukum, tetapi juga akibat keruntuhan kepercayaan publik.

Menurut Robert Putnam, modal sosial – jaringan kepercayaan antara rakyat dan pemimpin – adalah elemen kunci dalam pemerintahan. Di Pati, modal ini hancur. Kebijakan yang tidak sensitif, ditambah kondisi ekonomi yang sulit, memperburuk persepsi bahwa pemerintah tak peduli pada nasib rakyat.

Berita Lainnya  Mitora Pte. Ltd Ajukan Pembatalan Putusan BANI Terkait Kasus Yayasan Purna Bhakti Pertiwi

Meski masih menjabat secara hukum, Bupati kehilangan kemampuan untuk memerintah secara efektif. Kebijakan apa pun akan dicurigai atau ditolak karena hilangnya legitimasi.

Kejadian di Pati memperingatkan kepala daerah lain: kekuasaan yang sah secara hukum bisa kehilangan kekuatan ketika kepercayaan rakyat menghilang. Tiga faktor utama menjadi pemicu, yakni kebijakan yang membebani, komunikasi yang memperuncing konflik, dan penggunaan simbol yang efektif oleh masyarakat.

Kasus ini bukan sekadar soal protes terhadap kenaikan pajak. Ia menunjukkan betapa rapuhnya kepercayaan politik ketika pemimpin gagal mendengarkan dan memahami rakyat. Dan kisah di Pati tampaknya masih jauh dari selesai.

Share This Article
Leave a Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *