Jakarta – Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik, untuk pertama kalinya secara terbuka menyerukan penyelidikan atas dugaan genosida yang terjadi di Gaza. Pernyataan ini menandai langkah berani dari Paus dalam menanggapi konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina yang telah menelan banyak korban jiwa.
Dalam buku terbarunya yang berjudul “Hope Never Disappoints. Pilgrims Towards a Better World”, yang diterbitkan pada Minggu (17/11), Paus Fransiskus menekankan pentingnya penyelidikan lebih lanjut untuk memastikan apakah tindakan Israel di Gaza memenuhi definisi genosida. Buku ini mencerminkan pandangan Paus yang paling terus terang mengenai konflik Gaza, yang dipicu oleh serangan Hamas pada 7 Oktober terhadap Israel.
Paus asal Argentina ini telah lama menyuarakan keprihatinannya terhadap banyaknya korban sipil akibat operasi militer Israel di Gaza. Menurut data dari Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas, setidaknya 43.846 orang telah menjadi korban, sebagian besar di antaranya adalah warga sipil.
Seruan Paus untuk penyelidikan ini menandai pertama kalinya ia menggunakan istilah genosida dalam konteks operasi militer Israel di Palestina, meskipun tanpa memberikan dukungan langsung terhadap tuduhan tersebut. Hal ini menunjukkan sikap tegas Paus dalam menanggapi situasi kemanusiaan di Gaza.
Menanggapi pernyataan Paus, Kedutaan Besar Israel di Vatikan mengeluarkan respons melalui unggahan di media sosial X, yang mengutip duta besarnya, Yaron Sideman. Unggahan tersebut mencerminkan ketegangan diplomatik yang muncul akibat pernyataan Paus.
Di akun X milik Paus pada hari Minggu, ia menulis: “Mari kita #BerdoaBersama untuk perdamaian: di Ukraina, di Palestina, Israel, Lebanon, Myanmar, dan Sudan.” Seruan ini menunjukkan komitmen Paus untuk mendorong perdamaian di berbagai wilayah konflik di dunia.
Sebelumnya, pada hari Kamis, Komite Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa menilai bahwa tindakan Israel dalam konflik Gaza memiliki “ciri-ciri genosida”, dengan tuduhan bahwa negara tersebut “menggunakan kelaparan sebagai metode perang”. Kesimpulan ini mendapat kecaman dari Amerika Serikat, yang merupakan pendukung utama Israel.