PBNU-PKB: Kembali ke Fitrah!

3 mins read

Oleh: Taufiq Zaenal Mustofa
Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Indramayu

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kembali bersitegang setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengetuk palu dalam Sidang Paripurna menyetujui pembentukan Pansus Angket Haji 2024 pada 09 Juli 2024 silam. Pansus ini dibentuk demi menelusuri keputusan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang diduga mengalihkan tambahan kuota haji reguler sebanyak 20 ribu ke haji khusus. Pengalihan ini dianggap telah melanggar Undang-Undang Penyelenggaraan Haji dan Umrah.

Kendati berkali-kali ditegaskan bahwa pembentukan Pansus tidak ada kaitannya dengan PBNU, bola liar yang diinisiasi DPR ini telah terlanjur dianggap oleh PBNU cq KH. Yahya Cholil Staquf sebagai serangan terbuka terhadap PBNU. Pasalnya PBNU menganggap bahwa pelaksanaan haji 2024 berjalan dengan baik sehingga tak memiliki alasan kuat untuk membentuk Pansus. Sementara, DPR cq Muhaimin Iskandar berpendapat bahwa Pansus Angket Haji 2024 digulirkan semata demi mengevaluasi kesalahan-kesalahan penyelenggaraan ibadah haji tahun ini agar pelaksanaan selanjutnya tidak berpotensi merugikan para jamaah calon haji yang sudah mengantre selama puluhan tahun.

Retak di Bawah

Terjadilah perang statemen, baik di media massa mainstream maupun media sosial. Masing-masing bersikukuh dengan argumennya. Puncaknya, PBNU menggelar rapat pleno pada 27-28 Juli di Hotel Bidakara, Jakarta. Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf memutuskan membentuk tim untuk mendalami sekaligus mengkaji ulang relasi NU dengan PKB. Tim ini digawangi oleh dua anggota utama yakni Wakil Rais Aam KH. Anwar Iskandar dan Wakil Ketua Umum PBNU Amin Said Husni. Ketua PBNU Umarsyah memastikan bahwa tim ini telah mulai bekerja sejak 31 Juli 2024. Bahkan, Sekjen PBNU Saifullah Yusuf, mewacanakan untuk membentuk semacam Pansus untuk mengembalikan PKB ke rahim NU. Pembentukan Pansus Angket Haji 2024 berujung pada wacana pengambil alihan partai.

Yang beriak di atas akan tumpah ke bawah jua. Peribahasa ini cukup representatif menggambarkan kondisi mutakhir PBNU-PKB. Pada 02 Agustus sekelompok massa yang mengatasnamakan dirinya sebagai Aliansi Santri Gus Dur ramai-ramai menggeruduk kantor PBNU, menuntut agar Ketua Umum dan Sekjen PBNU mundur. Alasan koordinator aksi, NU di bawah duo kepemimpinan saat ini ditengarai sudah terlampau jauh menyeret NU ke gelanggang politik praktis. Tak lama setelah itu, aksi demonstrasi ini langsung disambut dengan Apel Siaga Banser NU secara besar-besaran pada 05 Agustus 2024. Menurut panglima tertinggi Banser, Addin Jauharudin, ia akan menggebuk siapapun yang berani mengganggu kiai-kiai di bilangan Kramat Raya (Kantor PBNU).

Berita Lainnya  Krisis Penduduk Melanda Jepang, China & Korsel: Apakah RI Selanjutnya?

Saking runcingnya perseteruan ini, sekelas Wakil Presiden, Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, sampai merelakan diri untuk menjadi penengah agar situasi kembali kondusif.

Mengurai Lebih Dalam

Ketegangan yang terjadi antara PBNU dan PKB tidak terjadi dalam satu malam. Jauh sebelumnya, belasan atau bahkan puluhan kali PBNU dan PKB terlibat dalam ketegangan yang seolah tak mengenal kalender dan cuaca, terutama sejak PBNU dikomandoi oleh KH. Yahya Cholil Staquf. Mulai dari silang sengkarut perbedaan pilihan politik elektoral tingkat Nasional hingga level gurem di daerah. Selalu saja ada percik-percik kecil yang jika tersentuh bara setitik langsung menjadi kobaran api besar.

Relasi khaotik yang penuh ketegangan ini disinyalir timbul akibat adanya masalah sistematis dalam perseteruan antara PKB dan PBNU. Persoalan ini muncul sejak PKB di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar (Gus Imin) ditengarai telah mengurangi peran serta kewenangan para kiai, seperti mengurangi otoritas Dewan Syuro melalui perubahan AD/ART dalam Muktamar Bali 2019 silam.

Beberapa kewenangan yang berkurang adalah Dewan Syuro tidak lagi menandatangani surat-surat keputusan hingga memberikan keputusan terhadap hal-hal strategis partai sehingga dinilai terjadi penghilangan eksistensi secara fundamental di dalam AD/ART maupun secara teknis administratif di internal PKB. Ini dianggap kontraproduktif karena bagaimanapun inisiator utama berdirinya partai bintang sembilan ini adalah para kiai-kiai sepuh yang sangat ugahari. Tanpa kehadiran (wewenang) para kiai-kiai sepuh di internal partai, PKB tak memiliki perbedaan signifikan dengan partai-partai lainnya.

Pengurangan otoritas Dewan Syuro ini juga pada akhirnya telah menyebabkan kepemimpinan PKB menjadi tersentralistik hanya pada Ketua Umum. Bahkan, AD/ART hasil Muktamar Bali secara eksplisit menyatakan bahwa Ketua Umum PKB memiliki kewenangan yang sangat besar, termasuk menentukan kebijakan partai yang strategis, serta memberhentikan pengurus DPW dan DPC tanpa melalui musyawarah wilayah atau musyawarah cabang.

Berita Lainnya  Krisis Penduduk Melanda Jepang, China & Korsel: Apakah RI Selanjutnya?

Demikian halnya dengan (PB)NU. Berhentilah menjatuhkan diri terlalu curam dalam palung politik yang tak pernah membawa umat kemanapun selain kepentingan sektoral yang semu belaka. Politik NU adalah politik kebangsaan yang menaungi semua bendera, ideologi, dan latar belakang. Politik yang dijalankan oleh para ulama dan kiai selama ini adalah praktik politik untuk memperkuat kebangsaan dan kerakyatan. Praktik politik ini digulirkan demi menjaga Khittah NU 1926 yang telah menjadi kesepakatan bersama dalam Munas NU 1983 di Situbondo, Jawa Timur. Bahwa misi terbesar NU ialah misi jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi keagamaan berbasis sosial-kemasyarakatan).

Kembali ke Fitrah

Baik PBNU maupun PKB sudah sepatutnya kembali duduk bersama demi mendiskusikan peluang-peluang kerjasama sosial politik ekonomi keumatan yang jauh lebih substansif dan signifikan. Sebab sejarah sudah mencatat, apapun bentuk seteru yang terjadi, kenyataan bahwa PKB lahir dari rahim Nahdlatul Ulama takkan bisa dipungkiri oleh siapapun.

Karena itu, kembalikanlah wewenang dan porsi Dewan Syuro agar PKB tetap menjadi partai yang berlanggam spirit para kiai dan ulama. Sebaliknya, PBNU juga perlu menyadari bahwa NU tak pernah berkaitan (baik secara langsung maupun tidak) dengan salah satu lembaga Kementerian manapun. Oleh sebab itu,“serangan-serangan” terhadap salah satu kebijkan Kementerian jangan lantas ditafsirkan sebagai serangan terhadap PBNU. Dalam arti yang lebih luas: kembalilah ke Khittah Nahdliyyah dimana kepentingan sosial-ekonomi nahdliyyin kembali menjadi agenda prioritas utama.

Lagipula, ketika terjadi konflik antar keduanya, korban pertama yang dirugikan tak lain adalah jutaan nahdliyyin di akar rumput.  Mereka senantiasa frustrasi dan kebingungan mencari pegangan teguh tiap kali badai besar melanda dua organ (NU-PKB) yang diinisiasi para kiai sepuh ini. Sebab bagi mereka, NU-PKB merupakan setali tiga uang yang tak mungkin dipisahkan sebelum matahari terbit dari Barat.

Tawaran ini, mau tidak mau, harus segera dieksekusi selekasnya sebelum pihak ketiga datang untuk memanfaatkan momentum perpecahan demi kepentingan di luar kerangka dan prinsip warga Ahlus Sunnah wal Jamaah an-Nahdliyyah. Siapkah NU dan PKB kembali ke fitrah? Hanya pikiran jernih dan hati nan bening yang sanggup menjawabnya!

Berita Terbaru

Mengenai Kami

Haluan.co adalah bagian dari Haluan Media Group yang memiliki visi untuk mencerdaskan generasi muda Indonesia melalui sajian berita yang aktual dan dapat dipercaya

Alamat
Jalan Kebon Kacang XXIX Nomor 02,
Tanah Abang, Jakarta Pusat
—–
Lantai IV Basko Grandmall,
Jl. Prof. Hamka Kota Padang –
Sumatera Barat

 0813-4308-8869
 [email protected]

Copyright 2023. All rights reserved.
Haluan Media Group