Jakarta – Situasi di Benua Amerika semakin memanas setelah pemilihan presiden (pilpres) di Venezuela pada Minggu (28/7/2024). Pemilihan ini memicu kerusuhan dan reaksi keras dari berbagai negara. Berdasarkan laporan AFP, dalam rekapitulasi penghitungan suara yang mencapai 80% dari total suara, petahana Nicolas Maduro berhasil mengamankan kembali kursi kepresidenan dengan meraih 51,2% suara. Sementara itu, lawannya, Edmundo Gonzalez Urrutia, hanya memperoleh 44,2% suara.
Meskipun tertinggal jauh di belakang Maduro, kubu Gonzalez terus mengklaim kemenangan. Pemimpin oposisi MarĂa Corina Machado, mengutip hasil exit poll independen, menyatakan bahwa Gonzalez memenangkan 70% suara. Oleh karena itu, pengumuman kemenangan Maduro dianggap sebagai bentuk kecurangan.
Ketidakpuasan warga atas kemenangan Maduro memicu aksi protes besar-besaran pada Senin. Ribuan orang turun ke jalan di beberapa wilayah ibu kota, meneriakkan “Kebebasan, kebebasan!” dan “Pemerintah ini akan jatuh!”. Banyak yang memilih untuk memukul panci dan wajan, sebuah bentuk protes tradisional di Amerika Latin.
Kemenangan Maduro juga memicu pernyataan keprihatinan dari berbagai pihak internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (UE), dan beberapa negara di Amerika Latin menyuarakan kekhawatiran mereka. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyampaikan “kekhawatiran serius” tentang hasil pemilu Venezuela, menyatakan bahwa hasil tersebut tidak mencerminkan keinginan rakyat. Kepala kebijakan luar negeri UE Josep Borrell dan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga mendesak adanya transparansi.
Sembilan negara Amerika Latin menyerukan peninjauan lengkap atas hasil pemilihan dengan kehadiran pemantau pemilu independen. Brasil dan Kolombia, misalnya, mendesak peninjauan ulang terhadap angka-angka tersebut, sementara presiden Chili menyatakan hasilnya ‘sulit dipercaya’. Peru memanggil duta besarnya yang berada di Venezuela, dan Panama mengumumkan akan menangguhkan hubungan dengan Caracas.
Venezuela merespons aksi sejumlah negara tetangganya dengan sikap yang tidak kalah reaktif. Negara itu menarik staf diplomatik dari Argentina, Chili, Kosta Rika, Panama, Peru, Republik Dominika, dan Uruguay karena “tindakan dan pernyataan intervensionis” negara-negara tersebut.
Sementara itu, Nicolas Maduro (61 tahun) menghadiri pertemuan pada Senin sebelum Dewan Pemilihan Nasional (CNE) mengesahkan pemilihannya kembali untuk masa jabatan ketiga selama enam tahun ke depan hingga tahun 2031. Dalam forum tersebut, ia menepis kritik dan keraguan internasional tentang hasil pemungutan suara.
Pada pemerintahan Maduro terjadi keruntuhan ekonomi, migrasi sekitar sepertiga penduduk, dan kemerosotan tajam dalam hubungan diplomatik. Kondisi ini diperparah oleh sanksi yang dijatuhkan oleh AS, UE, dan negara-negara lain yang akhirnya melumpuhkan negara minyak yang sudah berjuang ini. Pada era kepemimpinannya, upah minimum warga setara dengan US$ 3,50 (Rp 57 ribu) per bulan, sementara makanan pokok untuk keluarga beranggotakan lima orang diperkirakan berharga sekitar US$ 500 (Rp 8,1 juta). Banyak orang menerima keranjang makanan dari pemerintah atau kiriman uang dari kerabat di luar negeri.
Venezuela seharusnya adalah negara terkaya di Amerika Selatan. Namun, negeri itu mulai mengalami kebangkrutan pada 2014. Pada 2022, Maduro sempat mengatakan bahwa negerinya tidak mampu membayar utang sebesar US$ 150 miliar.