Jakarta – Pavel Durov, pendiri sekaligus CEO aplikasi chat Telegram, ditangkap di bandara Bourget, Prancis, pada Sabtu (24/8) malam waktu setempat. Penangkapan ini pertama kali dilaporkan oleh media Prancis TF1 TV dan BFM TV, yang mengutip sumber anonim.
Telegram, yang memiliki pengaruh besar di Rusia, Ukraina, dan negara-negara bekas Uni Soviet, telah menjadi salah satu platform media sosial utama di dunia, bersanding dengan Facebook, YouTube, WhatsApp, Instagram, TikTok, dan WeChat.
Berbasis di Dubai, Telegram didirikan oleh Durov, seorang miliarder kelahiran Rusia. Durov meninggalkan Rusia pada tahun 2014 setelah menolak memenuhi tuntutan pemerintah untuk menutup komunitas oposisi di platform media sosial VK miliknya, yang akhirnya ia jual.
Menurut laporan TF1, Durov yang bepergian dengan jet pribadinya, menjadi sasaran surat perintah penangkapan di Prancis sebagai bagian dari penyelidikan awal polisi. TF1 dan BFM TV melaporkan bahwa penyelidikan ini berfokus pada kurangnya moderator atau sensor di Telegram, yang dianggap memungkinkan aktivitas kriminal terus berlanjut tanpa hambatan di aplikasi tersebut.
Kementerian Dalam Negeri dan polisi Prancis belum memberikan tanggapan resmi terkait penangkapan ini. Setelah Rusia melancarkan invasi ke Ukraina pada tahun 2022, Telegram menjadi sumber utama konten yang tidak difilter, dan terkadang vulgar serta menyesatkan, dari kedua belah pihak tentang perang dan politik seputar konflik tersebut.
Aplikasi ini kini menjadi saluran komunikasi utama bagi Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy dan para pejabatnya. Di sisi lain, Kremlin dan pemerintah Rusia juga memanfaatkan Telegram untuk menyebarluaskan berita mereka. Selain itu, Telegram menjadi salah satu dari sedikit tempat di mana warga Rusia dapat mengakses berita tentang perang tersebut.
TF1 melaporkan bahwa Durov melakukan perjalanan dari Azerbaijan dan ditangkap sekitar pukul 20:00 (18:00 GMT). Durov, yang kekayaannya ditaksir oleh Forbes sebesar US$15,5 miliar, menyatakan bahwa beberapa pemerintah telah berupaya menekannya. Namun, ia menegaskan bahwa Telegram, yang kini memiliki 900 juta pengguna aktif, harus tetap menjadi “platform netral” dan bukan “pemain dalam geopolitik.”
Kedutaan Besar Rusia di Prancis mengatakan kepada kantor berita negara Rusia TASS bahwa mereka belum dihubungi oleh tim Durov setelah laporan penangkapan tersebut, tetapi mereka mengambil langkah “segera” untuk mengklarifikasi situasi. Perwakilan Rusia untuk organisasi internasional di Wina, Mikhail Ulyanov, dan beberapa politisi Rusia lainnya dengan cepat menuduh Prancis bertindak sebagai kediktatoran.
Beberapa blogger asal Rusia menyerukan protes di kedutaan besar Prancis di seluruh dunia pada siang hari Minggu. Situasi ini menambah ketegangan antara Rusia dan Prancis, serta menyoroti peran penting Telegram dalam komunikasi global.