Jakarta – Penetapan Mardani H Maming sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi telah memicu perdebatan sengit di kalangan pakar hukum. Beberapa ahli menilai keputusan ini sebagai tindakan yang menciderai prinsip keadilan.
Dalam sebuah talk show yang diselenggarakan oleh CNN, keputusan hakim terhadap Mardani H Maming menjadi topik diskusi yang hangat. Para narasumber, termasuk Dr Muhammad Arif Setiawan, seorang praktisi hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII), mengkritisi keputusan tersebut.
Dr Muhammad Arif Setiawan menyoroti bahwa penetapan Mardani sebagai tersangka dilakukan tanpa adanya alat bukti yang kuat. “Munculnya ketidakpercayaan terhadap hukum. Nah ini kan bahaya karena kita negara hukum mestinya hukumnya harus menjadi pedoman utama atau hukum harus menjadi panglimanya,” ungkapnya.
Menurut Dr Arif, ketika masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap hukum, hal ini mencerminkan kemunduran demokrasi di Indonesia. “Gambaran tentang hukum itu tidak hanya dinilai atau dilihat peraturan perundang-undangan akan tetapi juga bagaimana putusan-putusan hukum yang dibuat oleh hakim di pengadilan,” jelasnya.
Dr Arif menekankan bahwa putusan hakim seharusnya didasarkan pada fakta dan kebenaran. “Karena itulah maka harus menemui kebenarannya sehingga orang menjadi puas bahwa hukum telah ditegakkan karena yang ditegakkan adalah kebenarannya,” ujarnya.
Sebaliknya, jika penegakan hukum dilakukan dengan mengabaikan standar prosedur minimal, maka penetapan tersangka tidak akan didasarkan pada pembuktian yang benar. “Pembuktian yang benar itu tidak hanya menyangkut tentang jenis alat bukti atau jumlah minimal alat bukti tapi juga menyangkut tentang proses penilaian dan cara memperoleh alat bukti,” tambahnya.
Kasus Mardani H Maming ini menyoroti pentingnya integritas dan kebenaran dalam proses peradilan. Penetapan tersangka harus didasarkan pada bukti yang kuat dan proses yang transparan agar keadilan dapat ditegakkan dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum tetap terjaga.