Jakarta – Dalam perkembangan terbaru, tiga tokoh terkemuka dalam ranah kecerdasan buatan (AI) yang berafiliasi dengan Google telah berhasil meraih Nobel Prize di bidang fisika dan kimia. Namun, kemenangan ini memicu perdebatan di kalangan ilmuwan.
Pada Selasa (8/10), Geoffrey Hinton, mantan karyawan Google yang dikenal sebagai pelopor AI, dianugerahi Nobel Prize untuk fisika. Ia berbagi penghargaan ini dengan ilmuwan Amerika Serikat, John Hopfield, atas penemuan mereka yang menjadi fondasi bagi perkembangan AI modern.
Sehari kemudian, Demis Hassabis dan John Jumper dari Google juga meraih Nobel Prize di bidang kimia. Mereka berbagi penghargaan ini dengan pakar biokimia, David Baker, atas kontribusi mereka dalam menguraikan struktur protein mikroskopis. Hassabis dikenal sebagai salah satu pendiri DeepMind, unit AI milik Google.
Profesor Dame Wendy Hall, seorang pakar komputer dan penasihat AI untuk Persatuan Bangsa-bangsa (PBB), menyatakan bahwa pencapaian dan temuan para penerima penghargaan memang layak diakui. Namun, ia juga menyoroti ketiadaan Nobel Prize untuk bidang matematika atau ilmu komputer.
Nobel Prize, sesuai dengan wasiat penemunya, Alfred Nobel, hanya diberikan untuk bidang kedokteran, fisika, kimia, literatur, dan perdamaian. Penghargaan untuk bidang ekonomi baru ditambahkan pada tahun 1968 setelah mendapat dukungan dari bank sentral Swedia.
Noah Giansiracusa, seorang profesor matematika di Bentley University, sependapat dengan Hall. Ia mempertanyakan kemenangan Hinton, dengan menyatakan bahwa kontribusi Hinton dalam pengembangan AI tidak memiliki kaitan yang kuat dengan ilmu fisika.