Jakarta – Ketegangan di Timur Tengah semakin memanas. Israel berjanji untuk membalas dendam kepada Lebanon setelah serangan roket dari wilayah tersebut menewaskan 12 orang muda di Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi Israel. Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, pada Minggu waktu setempat, bersumpah akan menyerang “musuh dengan keras”. Pernyataan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa konflik Gaza akan meluas.
Penembakan roket yang mematikan tersebut terjadi di Majdal Shams, sebuah kota yang penduduknya mayoritas penganut Druze yang berbahasa Arab, pada hari Sabtu. Insiden ini memaksa Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk kembali lebih awal dari kunjungannya ke Amerika Serikat. Di AS, Netanyahu sebelumnya berpidato di Kongres dan bertemu dengan sejumlah tokoh penting, termasuk Presiden Joe Biden, Wakil Presiden Kamala Harris, dan mantan Presiden Donald Trump.
Militer Israel menganggap serangan ini sebagai “serangan paling mematikan terhadap warga sipil Israel” sejak serangan 7 Oktober. Israel menuduh gerakan Hizbullah Lebanon sebagai pelaku serangan, dengan menyebut bahwa roket yang digunakan adalah Falaq-1 buatan Iran. Kementerian Luar Negeri Israel menegaskan bahwa Hizbullah telah “melewati semua garis merah”. Namun, Hizbullah membantah keterlibatannya dalam insiden tersebut.
Serangan roket di Majdal Shams menghantam lapangan sepak bola dan menewaskan anak-anak muda yang berusia antara 10 hingga 16 tahun, menurut otoritas setempat. Polisi Israel melaporkan bahwa seorang anak laki-laki berusia 11 tahun masih hilang. Ribuan penduduk memadati jalan-jalan kota dalam upacara pemakaman yang penuh air mata untuk para korban tewas.
Tembakan roket di Majdal Shams terjadi setelah serangan Israel menewaskan empat pejuang Hizbullah di Lebanon selatan. Hal ini mendorong kelompok militan tersebut untuk mengumumkan serangkaian serangan roket balasan. Sementara itu, Iran memperingatkan Israel bahwa setiap petualangan baru di Lebanon dapat menyebabkan akibat yang tak terduga. Hizbullah, yang memiliki hubungan dekat dengan Iran, membantah bertanggung jawab atas serangan di Majdal Shams, meskipun mengakui telah melakukan sejumlah tembakan ke wilayah Israel pada akhir pekan.
Hizbullah mencurigai Israel sengaja menuduh mereka untuk mengalihkan opini publik dan perhatian dunia dari kejahatan yang dilakukan di Gaza. Menurut Hizbullah, Israel tidak memiliki “kewenangan moral” untuk mengomentari kematian di Majdal Shams, yang direbut dari Suriah pada tahun 1967, karena pendudukan Israel tersebut tidak diakui oleh PBB.
Riad Kahwaji, kepala Institut Analisis Militer Timur Dekat dan Teluk, menyatakan bahwa posisi yang menjadi target Hizbullah sebenarnya berada sekitar 2,4 kilometer (1,5 mil) dari kota. Hal ini masih dalam batas kesalahan dari roket yang tidak akurat. Namun, ia juga menambahkan bahwa “kemungkinan salah tembak” dari rudal pertahanan udara Israel tidak dapat dikesampingkan. Oleh karena itu, Kahwaji menegaskan perlunya penyelidikan independen untuk mengungkap kebenaran di balik insiden ini.