Seoul – Pada malam tanggal 3 Desember, suasana di luar Majelis Nasional Korea Selatan berubah menjadi tegang ketika pengunjuk rasa berhadapan dengan tentara bersenjata. Kejadian ini terjadi tidak lama usai Presiden Yoon Suk Yeol mengumumkan status darurat militer melalui siaran televisi. Langkah ini memicu gelombang protes dari warga yang merasa tidak puas dengan kebijakan tersebut.
Yang menarik dari protes kali ini adalah cara massa mengekspresikan ketidakpuasan mereka. Sepanjang malam, para demonstran menyanyikan lagu-lagu K-pop favorit mereka sambil mengangkat plakat yang menentang Presiden Yoon dan deklarasi darurat militer. Aksi ini berlangsung hingga pagi hari, menunjukkan semangat perlawanan yang kuat dari masyarakat.
Di garis depan protes, terlihat banyak perempuan yang turut serta. Menurut perkiraan media, sekitar 40 persen dari para demonstran adalah perempuan berusia antara belasan hingga 40-an tahun. Analis politik berpendapat bahwa generasi perempuan baru ini siap untuk mengambil peran lebih besar dalam menentukan arah kebijakan negara.
Selama kampanye pemilu presiden pada Mei 2022, Yoon Suk Yeol mendapatkan dukungan kuat dari pria berusia 20-an dan 30-an. Yoon disebut menentang apa yang dikenalnya sebagai “gelombang feminisme” dan berjanji akan menghapus Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga. Setelah terpilih, ia segera menghapus kuota gender, sebuah langkah yang kontroversial dan memicu perdebatan luas.
Profesor Hyobin Lee, seorang akademisi terkemuka, menyatakan bahwa generasi baru perempuan Korea Selatan memiliki rasa percaya diri yang lebih besar dibandingkan generasi sebelumnya. Menurutnya, mereka tidak akan mau kembali ke situasi masa lalu di mana peran perempuan sering kali dibatasi. Lee yakin bahwa perubahan ini akan bertahan lama dan membawa dampak positif bagi masyarakat Korea Selatan.