Jakarta – Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Dita Indah Sari, mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk menunda rencana peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang direncanakan berlaku mulai 1 Januari 2025. Permohonan ini didasarkan pada situasi ekonomi saat ini yang menunjukkan penurunan daya beli masyarakat serta angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang hampir mencapai 65 ribu.
Dita Indah Sari menyoroti bahwa kenaikan PPN di tengah situasi ekonomi yang lesu dapat memperburuk daya beli masyarakat. Dengan angka PHK yang tinggi, banyak keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi, dan kenaikan pajak dapat menambah beban mereka. Oleh karena itu, ia menilai bahwa penundaan kenaikan PPN adalah langkah yang bijaksana untuk meringankan beban masyarakat.
Dita mengakui bahwa kenaikan PPN merupakan amanat dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Pajak (UU HPP) tahun 2021. Namun, ia menekankan bahwa terdapat klausul dalam undang-undang tersebut yang memungkinkan pemerintah dan DPR untuk menyesuaikan tarif PPN melalui Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini membuka peluang bagi pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan kenaikan PPN dengan melihat kondisi ekonomi yang ada.
Pemerintah berencana menaikkan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen mulai tahun depan, dengan alasan menjalankan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam beleid tersebut, pemerintah dan DPR telah menetapkan kenaikan PPN menjadi 11 persen pada 2022 dan 12 persen pada 2025. Namun, rencana ini mendapatkan tentangan dari publik yang khawatir akan dampaknya terhadap ekonomi rumah tangga.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada pembahasan mengenai penundaan kenaikan PPN. Menurutnya, meskipun ada banyak perdebatan mengenai kenaikan pajak di tengah pelemahan daya beli, kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai penyangga keuangan negara harus tetap dijaga.