Jakarta – Perdana Menteri baru Jepang, Shigeru Ishiba, menyampaikan pidato kebijakan perdananya di hadapan parlemen pada Jumat (4/10/2024). Dalam pidatonya, Ishiba menyoroti situasi di Ukraina dengan pernyataan yang menggugah, “Ukraina hari ini bisa jadi Asia Timur masa depan”. Pernyataan ini mencerminkan kekhawatiran akan potensi ketegangan di kawasan Asia Timur yang dapat menyerupai konflik di Ukraina.
Meskipun Ishiba tidak secara langsung menyebut China, hubungan antara Jepang dan Beijing telah mengalami ketegangan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh kehadiran militer China di sekitar wilayah yang disengketakan di kawasan tersebut. Jepang juga memicu ketidakpuasan China dengan rencana peningkatan besar dalam pengeluaran pertahanan serta memperkuat hubungan keamanan dengan Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk Filipina dan Korea Selatan.
Pada bulan Agustus, sebuah pesawat militer China melakukan serangan pertama yang dikonfirmasi ke wilayah udara Jepang. Beberapa minggu kemudian, sebuah kapal perang Jepang berlayar melalui Selat Taiwan untuk pertama kalinya, menandai peningkatan ketegangan di kawasan tersebut. Ishiba mendukung pembentukan aliansi militer regional yang mirip dengan NATO, dan menyatakan bahwa lingkungan keamanan di Asia saat ini adalah “yang paling parah sejak akhir Perang Dunia II”.
Selain isu politik luar negeri, Ishiba juga menyoroti masalah demografi yang dihadapi Jepang. Negara ini, seperti banyak negara maju lainnya, menghadapi krisis demografi yang serius akibat populasi yang menua dan angka kelahiran yang rendah. Menurut data Bank Dunia, Jepang memiliki populasi tertua di dunia setelah Monaco.
Tahun lalu, angka kelahiran di Jepang, atau jumlah rata-rata anak yang diharapkan dimiliki seorang wanita dalam hidupnya, hanya mencapai 1,2. Angka ini jauh di bawah 2,1 yang dibutuhkan untuk mempertahankan populasi. Ishiba menyebut situasi ini sebagai “darurat yang tenang” dan menekankan bahwa pemerintah akan mempromosikan langkah-langkah untuk mendukung keluarga, seperti jam kerja yang fleksibel.
Dalam upaya mengatasi krisis demografi, pemerintah Jepang di bawah kepemimpinan Ishiba berencana untuk memperkenalkan kebijakan yang mendukung keluarga. Langkah-langkah ini termasuk mempromosikan jam kerja yang fleksibel untuk membantu orang tua mengelola waktu antara pekerjaan dan keluarga.