Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan akhirnya memberikan penjelasan terkait polemik rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti, menegaskan bahwa hasil dari pajak tersebut akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk layanan dan fasilitas publik.
Dwi menjelaskan bahwa dana PPN juga akan digunakan untuk membebaskan Pajak Penghasilan (PPh) bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan omzet hingga Rp500 juta. Selain itu, pemerintah berencana memperluas lapisan penghasilan dari Rp50 juta menjadi Rp60 juta yang dikenakan tarif terendah sebesar 5 persen.
Dwi Astuti menekankan bahwa tidak semua barang akan dikenakan PPN. Barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran akan dikecualikan dari pajak ini. Selain itu, beberapa jasa juga dibebaskan dari PPN, termasuk jasa pelayanan kesehatan, sosial, keuangan, asuransi, pendidikan, transportasi umum, dan ketenagakerjaan.
Kenaikan PPN ini merupakan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam undang-undang tersebut, pemerintah dan DPR telah menetapkan kenaikan PPN menjadi 11 persen mulai 2022 dan 12 persen mulai 2025.
Namun, rencana kenaikan ini memicu reaksi keras dari berbagai kalangan. Meskipun sudah menjadi amanat undang-undang, banyak pihak yang khawatir bahwa kenaikan ini akan semakin membebani masyarakat yang daya belinya sudah tertekan.
Salah satu kelompok yang paling vokal menentang kenaikan ini adalah kalangan buruh. Mereka mengancam akan melakukan aksi demonstrasi besar-besaran jika pemerintah tidak membatalkan rencana tersebut. Selain itu, petisi menolak kenaikan PPN juga ramai di media sosial, dengan banyak warganet yang menilai bahwa kenaikan ini akan menaikkan harga barang kebutuhan pokok.
Kondisi ekonomi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih, ditambah dengan tingginya angka pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK), membuat banyak pihak merasa bahwa kenaikan PPN ini tidak tepat waktu. Petisi yang menolak kenaikan ini dibuat dan dibagikan oleh akun X @barengwarga pada Selasa (19/11), menuntut pemerintah untuk segera membatalkan rencana tersebut.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menanggapi tentangan ini dengan menyatakan bahwa belum ada pembahasan mengenai penundaan kenaikan PPN. Menurutnya, meskipun ada banyak perdebatan mengenai kenaikan pajak di tengah pelemahan daya beli, kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai penyangga ekonomi harus tetap dijaga.