Jakarta – Pemerintah Indonesia berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025. Jika rencana ini terwujud, Indonesia akan memiliki tarif PPN tertinggi di kawasan Asia Tenggara (ASEAN), sejajar dengan Filipina yang telah lebih dulu menerapkan tarif serupa.
Menurut data dari Worldwide Tax Summaries yang dirilis oleh konsultan keuangan PWC, saat ini tarif PPN Indonesia berada di posisi kedua tertinggi di ASEAN. Negara-negara seperti Malaysia, Laos, Vietnam, dan Kamboja mengikuti dengan tarif masing-masing sebesar 10 persen. Sementara itu, Singapura menerapkan tarif PPN sebesar 9 persen, dan Thailand serta Myanmar masing-masing 7 persen. Brunei Darussalam menjadi satu-satunya negara di ASEAN yang tidak memungut PPN dari warganya.
Di Indonesia, PPN bersama dengan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) merupakan kontributor terbesar kedua terhadap penerimaan pajak negara, setelah pajak penghasilan (PPh). Hingga Oktober 2024, penerimaan dari PPN dan PPnBM tercatat mencapai Rp620,42 triliun, atau sekitar 40,88 persen dari total penerimaan pajak yang berjumlah Rp1.517,53 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025 masih sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Ia juga memastikan bahwa hingga saat ini belum ada pembahasan mengenai penundaan pemberlakuan kenaikan pajak tersebut.
Rencana kenaikan PPN ini memicu perdebatan di tengah masyarakat, terutama terkait dampaknya terhadap daya beli yang saat ini sedang melemah. Namun, Sri Mulyani mengingatkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus tetap dijaga kesehatannya sebagai instrumen penyerap kejut (shock absorber) bagi perekonomian nasional.