Jakarta – Presiden Terpilih Prabowo Subianto menyatakan keyakinannya bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 8% selama masa jabatannya sebagai kepala negara dalam lima tahun mendatang. Prabowo akan menggantikan Presiden Joko Widodo yang masa jabatannya berakhir tahun ini.
Prabowo mengungkapkan bahwa rencananya ini telah diketahui oleh dunia internasional. Ia mengklaim bahwa beberapa menteri dari negara lain telah bertaruh dengannya mengenai apakah pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 8% selama periode 2024-2029. Meski tidak menyebutkan menteri dari negara mana, Prabowo mengatakan bahwa taruhan tersebut hanya sebatas traktiran makan malam. Jika ekonomi Indonesia tumbuh 8% sekali saja selama ia menjabat, para menteri tersebut akan mentraktirnya makan malam.
Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tersebut, yang selama 10 tahun terakhir stagnan di kisaran 5%, Prabowo berencana melakukan efisiensi perekonomian Indonesia, memastikan tata kelola birokrasi yang baik, dan menelurkan kebijakan-kebijakan yang masuk akal.
Target pertumbuhan ekonomi di atas 5% sebenarnya juga telah diumbar oleh Presiden Joko Widodo sebelum menduduki kursi kepresidenan. Saat masa kampanye Pilpres 2014, Jokowi percaya diri bahwa ekonomi Indonesia bisa tumbuh 7% selama ia menjabat sebagai presiden. Namun, secara tahunan atau year on year (yoy), pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 10 tahun ia menjabat belum pernah mencapai 7%. Meskipun pada kuartal II-2021 tumbuh 7,08%, hal ini disebabkan oleh basis perhitungan pada kuartal II-2020 yang sangat rendah, yakni minus 5,32%.
Pada periode tersebut, ekonomi Indonesia memang luluh lantak setelah diterjang Pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak Maret 2020. Namun, dengan basis ekonomi yang sama-sama terkontraksi, banyak negara tetangga Indonesia yang justru mampu membukukan pertumbuhan ekonomi double digit. Vietnam mampu tumbuh 13,71% pada kuartal II-2022, Arab Saudi mencatatkan pertumbuhan double digit 12,2% pada kuartal II-2022, sementara Brasil pada kuartal II-2021 mencapai 12,4%.
Jika dilihat berdasarkan keseluruhan tahun, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama Jokowi menjabat juga tak pernah menyentuh level 7%. Pada 2016, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mampu kembali ke level 5,03%, lalu pada 2017 sebesar 5,07%, 2018 mencapai 5,17%, dan 2019 kembali ke level 5,02%.
Pada 2021 kembali tumbuh 3,7%, 2022 tumbuh 5,31%, dan 2023 hanya tumbuh 5,05%. Selain Pandemi Covid-19, banyak permasalahan yang memicu pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan selama masa pemerintahannya, mulai dari harga BBM bersubsidi yang naik, hingga banyak kebijakan yang menekan daya beli masyarakat.
Mayoritas sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Hingga 2023, porsi konsumsi masyarakat terhadap laju pertumbuhan ekonomi mencapai 53,18%. Di bawahnya, baru investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) 29,33%, ekspor hanya 21,75%, konsumsi pemerintah 7,45%, konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) 1,25%, dan impor minus 19,57%.
Pada saat mengawali pemerintahan, Presiden Jokowi menaikkan harga BBM subsidi hingga 33,57% pada 14 November 2014. Kenaikan harga BBM pun langsung melambungkan inflasi hingga 1,50% (month to month/mtm) sementara pada Desember menyentuh 2,46% (mtm). Kenaikan harga membuat ekonomi Indonesia terpukul. Hantaman demi hantaman kenaikan harga sepanjang 2015-2022 juga membuat daya beli lunglai padahal konsumsi rumah tangga memegang porsi 54-56% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Pada 2019, pemerintah menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan hingga sebesar 100%. Kenaikan iuran menjadi perdebatan panas karena dinilai terlalu tinggi. Dan di tahun yang sama, tarif angkutan udara pun terus melambung 40-120%.
Hingga tahun terakhir ia menjabat, berbagai permasalahan itu masih dihadapi Jokowi. Bahkan potensi tekanan daya beli masyarakat bertambah dengan munculnya berbagai kebijakan yang menekankan pendapatan masyarakat.
Di tengah berbagai rencana kebijakan yang menekan daya beli itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas mencatat 40 juta pekerja di Indonesia masih memiliki gaji di bawah Rp 5 juta. Jauh di bawah target pendapatan per kapita hingga akhir 2024 sebesar US$ 5.500 per tahun, atau setara Rp 7,45 juta per bulan. Di sisi lain, saat rendahnya tingkat gaji masyarakat, inflasi bahan pangan juga semakin mengikis pendapatan bulanan mereka. Per Mei saja, level inflasi bahan pangan bergejolak masih sebesar 8,14%, jauh di atas kenaikan rata-rata gaji di Indonesia.
Mengutip catatan Bank Indonesia, kenaikan gaji untuk aparatur sipil negara atau ASN pada periode 2019-2024 hanya sebesar 6,5% dengan catatan untuk periode 2020-2023 tak ada kenaikan gaji ASN. Adapun, kenaikan UMR atau gaji pegawai swasta rata-rata hanya 4,9% pada 2020-2024.