Jakarta – Mantan Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, kini menjadi pusat perhatian setelah menolak surat perintah penangkapan terkait penerapan darurat militer yang singkat. Yoon bertekad melawan upaya pihak berwenang yang ingin menginterogasinya, menambah ketegangan dalam krisis politik yang sedang berlangsung.
Menurut laporan AFP pada Kamis (2/1/2025), Yoon tetap teguh pada pendiriannya meskipun krisis politik terus berlanjut. Ia mengeluarkan pernyataan menantang kepada para pendukungnya, hanya beberapa hari sebelum surat perintah penangkapan berakhir pada 6 Januari. Pengacara Yoon mengonfirmasi bahwa presiden yang diskors tersebut masih berada di Seoul, ibu kota Korea Selatan.
Pernyataan Yoon segera mendapat kecaman dari anggota parlemen oposisi. Juru bicara Partai Demokrat, Jo Seoung-lae, menyebut pernyataan Yoon sebagai “delusi” dan menuduhnya berusaha memicu bentrokan. Tuduhan ini menambah panas situasi politik di Korea Selatan, yang sudah tegang akibat krisis kepemimpinan.
Tim hukum Yoon telah mengajukan perintah untuk memblokir surat perintah penangkapan tersebut. Mereka mengklaim bahwa surat perintah itu adalah “tindakan yang melanggar hukum dan tidak sah”. Namun, kepala Kantor Investigasi Korupsi (CIO), Oh Dong-woon, memperingatkan bahwa siapa pun yang mencoba menghalangi penangkapan Yoon dapat menghadapi tuntutan hukum.
Sebelumnya, pejabat Korea Selatan pernah gagal melaksanakan surat perintah penangkapan terhadap anggota parlemen pada tahun 2000 dan 2004. Hal ini disebabkan oleh anggota partai dan pendukung yang menghalangi polisi selama tujuh hari saat surat perintah itu berlaku.