Jakarta – Salah satu strategi investasi yang kerap disebut sebagai biang keladi ambruknya pasar keuangan global adalah carry trade. Strategi ini memanfaatkan rendahnya nilai tukar mata uang tertentu untuk meraup keuntungan.
Carry trade adalah jenis perdagangan yang melibatkan investor meminjam mata uang dari negara dengan suku bunga rendah, seperti Jepang atau Tiongkok, dan menggunakannya untuk berinvestasi dalam mata uang dari negara dengan suku bunga lebih tinggi, seperti Meksiko.
Yen telah menjadi mata uang pendanaan paling populer pada beberapa tahun terakhir karena suku bunga Jepang yang sangat rendah. Jepang baru saja keluar dari suku bunga negatif pada bulan April, beberapa tahun setelah bank sentral negara-negara Barat mulai secara agresif menaikkan suku bunga untuk memerangi inflasi.
Kesuksesan carry trade sangat bergantung pada dua faktor utama: mata uang pinjaman yang tetap murah dan volatilitas pasar yang rendah. Namun, kedua faktor ini telah merugikan investor dalam beberapa pekan terakhir karena nilai tukar yen melonjak dan pasar dilanda ketidakstabilan.
Transaksi mata uang tidak dilacak secara terpusat seperti perdagangan di pasar saham, sehingga sulit untuk mengestimasi popularitas carry trade secara pasti. Namun, ada beberapa cara untuk menilai popularitasnya. Salah satunya yaitu dengan melihat kontrak yang dilacak oleh regulator pasar berjangka. Data menunjukkan bahwa hedge fund dan investor spekulatif lainnya memegang lebih dari 180.000 kontrak yang bertaruh pada pelemahan yen, senilai lebih dari US$ 14 miliar pada awal Juli, menurut data CFTC. Pada minggu lalu, posisi tersebut telah dipotong menjadi sekitar US$ 6 miliar.
Proksi lainnya adalah dengan melihat pinjaman luar negeri bank-bank Jepang, yang mencapai US$ 1 triliun pada bulan Maret. Jumlah tersebut meningkat 21% dari tahun 2021, menurut data dari Bank for International Settlements. Sebagian besar pertumbuhan pinjaman yen lintas negara baru-baru ini terjadi di pasar antar bank, di mana bank saling memberikan pinjaman, dan kepada perusahaan keuangan non-bank seperti manajer aset. Pinjaman semacam itu “biasanya merupakan fungsi dari permintaan investor global terhadap carry trade yang didanai yen,” kata analis JPMorgan.
Lonjakan yen sebesar 7,5% dalam seminggu terakhir telah menghantam para pelaku investasi carry trade. Investor yang meminjam yen terkena margin call akibat mata uangnya melonjak, yang berarti para bankir mereka jadi menuntut lebih banyak agunan. Para investor tersebut pun terpaksa membeli yen untuk menutupi posisi mereka sebelumnya, mendorong mata uang lebih tinggi dan memicu lebih banyak margin call.
Salah satu faktor yang dapat mendorong penguatan yen lebih lanjut adalah investor melakukan lindung nilai baru, menurut Chris Turner dari ING, seperti dikutip dari Wall Street Journal. Melakukan lindung nilai terhadap risiko mata uang selama beberapa tahun terakhir sangat mahal, sehingga beberapa investor dan bank yang terpapar yen kemungkinan besar akan memilih untuk tidak melakukan lindung nilai. Meningkatkan lindung nilai pada dasarnya akan menimbulkan lebih banyak permintaan terhadap yen. Hal ini memunculkan risiko lingkaran setan akibat penguatan yen yang menyebabkan investor dan pihak lain menutup pertaruhan mereka terhadap yen yang lemah dengan membeli lebih banyak yen.