Jakarta – Pemerintah Indonesia tengah merancang kebijakan istimewa guna memikat lebih banyak investasi di sektor pusat data. Fokus utama dari kebijakan ini adalah menjadikan tarif listrik lebih bersaing dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Hal ini diungkapkan oleh Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Rachmat Kaimuddin.
Rachmat Kaimuddin menyoroti bahwa tarif listrik untuk industri pusat data di Indonesia saat ini berkisar antara US$11 sen hingga US$12 sen per kilowatt-hour (kWh). Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia yang hanya sekitar US$8 sen per kWh. Oleh karena itu, pemerintah merasa perlu untuk memberikan insentif khusus agar biaya listrik bagi pusat data di Indonesia menjadi lebih kompetitif.
Selain tarif listrik, Rachmat juga menekankan pentingnya aspek konektivitas dan penggunaan listrik hijau. Banyak pelaku industri yang kini menginginkan penggunaan listrik ramah lingkungan untuk operasional pusat data mereka. Hal ini sejalan dengan tren global yang semakin mengedepankan keberlanjutan dan efisiensi energi.
Rachmat menegaskan bahwa investasi di sektor pusat data harus memberikan dampak positif yang lebih luas bagi perekonomian Indonesia. Investasi ini tidak hanya diharapkan menjadi sumber penerimaan pajak atau biaya layanan, tetapi juga harus mampu menciptakan multiplier effect yang signifikan.
Dalam hal regulasi, Rachmat mengakui bahwa masih ada beberapa aspek yang perlu ditinjau ulang, termasuk revisi undang-undang terkait telekomunikasi yang dianggap sudah usang. Namun, ia juga menyebutkan bahwa aturan mengenai multi-provider untuk layanan seperti energi sudah diizinkan secara regulasi, meskipun dampaknya belum terasa secara signifikan.