Jakarta – Pada Selasa (16/7/2024), kata kunci “hoarding disorder” menjadi salah satu yang paling banyak dicari di mesin pencarian. Hoarding disorder adalah gangguan kesehatan mental yang ditandai dengan kesulitan membuang barang-barang karena merasa perlu menyimpannya. Kesulitan ini sering kali menyebabkan penderita mengalami stres dan tekanan batin yang signifikan.
Penderita gangguan ini sering mendapatkan barang secara impulsif, didorong oleh keinginan untuk memiliki objek tersebut. Barang-barang yang dikumpulkan biasanya tidak memiliki tema yang konsisten dan cenderung kurang terorganisir.
Menurut American Psychiatric Association, sekitar 2,6 persen populasi manusia mengalami hoarding disorder. Penderita yang paling banyak ditemukan adalah mereka yang berusia di atas 60 tahun. Selain itu, penderita hoarding disorder sering kali juga didiagnosis menderita gangguan psikis lainnya seperti kecemasan dan depresi. Gangguan ini umumnya dimulai pada usia muda dan terus meningkat seiring bertambahnya usia.
Sebagian penderita hoarding disorder sadar bahwa mereka memiliki gangguan tersebut. Namun, ada juga sebagian yang tidak menyadari bahwa mereka mengalami hoarding disorder. Selain kesulitan dalam membuang barang, banyak penderita hoarding disorder juga mengalami masalah lain seperti sering ragu, perfeksionis, kerap menunda-nunda, tidak teratur, dan mudah terganggu.
Penyebab pastinya masih belum diketahui karena gangguan ini relatif baru dalam klasifikasinya. Namun, hoarding disorder lebih umum terjadi pada orang yang memiliki anggota keluarga dengan masalah serupa. Selain itu, peristiwa dalam kehidupan yang menyebabkan stres, seperti kematian orang yang dicintai, dapat memperburuk gejala gangguan mental ini.
Sebuah uji coba menunjukkan bahwa terapi perilaku kognitif (CBT) efektif untuk mengobati hoarding disorder. Selama CBT, penderita secara bertahap belajar untuk membuang barang-barang yang tidak perlu dengan lebih sedikit stres. Meskipun CBT efektif, sejumlah besar orang dengan gangguan ini masih mengalami gejala yang mengganggu. Oleh karena itu, disarankan bagi penderita untuk berkonsultasi dengan dokter kesehatan mental.