HALUAN.CO – Dalam keseharian digital, banyak orang tanpa sadar mengembangkan kebiasaan self-stalking melihat ulang unggahan atau cerita mereka sendiri di media sosial.
Walau terlihat sepele, fenomena ini ternyata punya sisi psikologis yang cukup kompleks. Apakah hanya sekadar refleksi diri atau pertanda tekanan batin?
Psikolog dari platform Ibunda.id, Danti Wulan Manunggal, menyebut self-stalking sebagai sesuatu yang lazim.
“Selama dilakukan dengan sadar dan tidak berlebihan, ini masih tergolong normal,” ujarnya kepada Kompas.com, Minggu (15/6/2025).
Sebagian orang hanya ingin memastikan kontennya enak dilihat atau puas dengan hasil unggahan mereka.
Namun, jika kebiasaan itu berubah menjadi ketergantungan terhadap respons orang lain, Danti mengingatkan bahwa hal ini dapat merusak kepercayaan diri.
“Kalau validasi diri sepenuhnya ditentukan dari komentar atau like, itu bisa membuat seseorang kehilangan nilai percaya dirinya sendiri,” tegasnya.
Senada dengan Danti, psikolog Universitas Katolik Soegijapranata, Christin Wibowo, menilai bahwa melihat ulang postingan tidak selalu berarti gangguan psikologis.
Tapi ia menggarisbawahi bahwa jika dilakukan berulang kali hingga mengganggu aktivitas harian, hal itu patut diwaspadai.
“Kalau jadi pelarian dari kenyataan atau sampai menyita waktu banyak, bisa jadi itu sinyal ada masalah emosional yang belum disadari,” ungkapnya.
Christin juga mengaitkan perilaku ini dengan kemungkinan gangguan kepribadian seperti BPD, HPD, atau NPD.
Untuk menilai apakah masih wajar, ia menyarankan untuk melihat apakah kebiasaan ini mengganggu hubungan sosial, pekerjaan, atau rutinitas lainnya.
Self-stalking memang belum tentu berbahaya, tapi bisa jadi pintu masuk gangguan psikologis bila tak terkendali.
Penting bagi setiap individu untuk menyadari motivasi di balik perilaku ini dan menjaga keseimbangan dalam menggunakan media sosial.
Dengan begitu, media sosial bisa tetap menyenangkan tanpa mengorbankan kesehatan mental.