Haluan.co – Anggota DPD RI dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Abraham Liyanto mengemukakan empat pilar bangsa yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhineka Tunggal Ika adalah pemersatu bangsa.
Tanpa empat pilar tersebut, bangsa Indonesia tidak berdiri seperti yang ada sekarang ini.
“Kita harus jaga empat pilar ini. Jangan sampai ada yang tersingkir. Salah satunya tersingkir maka bubar yang namanya Indonesia ini,” kata Abraham dalam kegiatan sosialisasi Empat Pilar di Kupang, NTT, Rabu, 3 Mei 2022.
Ia menjelaskan empat pilar ini sudah sangat baik dibentuk oleh para pendiri bangsa.
Mereka berpikir jauh kedepan tentang keberadaan bangsa Indonesia.
Dengan empat pilar itu, semua identitas dan keberagaman di negara ini disatukan.
Penyatuaan bukan menghilangkan identitas asli tetapi diangkat dan dirawat dalam kebersamaan.
“Ini refleksi filosofis yang sangat tinggi. Penyatuaan bukan untuk menyeragamkan karena identitas asli tetap dijaga apa adanya. Hanya yang beragam itu bersatu dalam satu bingkai NKRI,” jelas anggota Komite I DPD RI ini.
Dia berharap semangat kebersamaan para pendiri bangsa itu yang harus dijaga oleh generasi sekarang dan generasi mendatang.
Jika semangat itu luntur, akan mudah bangsa ini pecah.
Menurut mantan Sekretaris Badan Sosialisasi MPR ini, upaya jangka panjang melawan paham radikalisme dengan cara memperkuat keberadaan empat pilar bangsa.
Hal itu dilakukan dengan semakin gencar sosialisasi empat pilar di semua lini masyarakat.
“Sekarang ini, yang lebih banyak melaksanakan kegiatan sosialisasi adalah MPR. Itu tidak cukup. Semua lapisan masyarakat harus bergerak bersama,” tegas pemilik Universitas Citra Bangsa Kupang ini.
Abraham menilai model penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) bisa diadopsi lagi, tetapi tidak bersifat doktrin seperti pada Orde Baru.
Penataran harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat saat ini. Misalnya melalui media sosial (medsos).
“Supaya tidak membosankan, bisa dengan pembuatan komik, parodi lucu tapi bukan menghina seperti terjadi di Cianjur. Pokoknya harus sesuai keinginan kalangan milenial,” ungkap Senator yang sudah tiga periode ini.
Dia mendukung upaya pemerintah membersihkan paham radikal melalui tindakan hukum seperti pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan pelarangan Front Pembela Islam (FPI) beberapa waktu lalu.
Namun cara-cara seperti itu tidak akan efektif membersihkan paham radikal.
Alasannya, penegakan hukum bukan masuk ke proses berpikir untuk melawan penyebaran ideologi tertentu.
Proses hukum hanya sanksi bagi pelanggar yang tidak sesuai ideologi bangsa.
“Pembubaran atau sanksi hukum itu hanya hilir saja, artinya tindakan setelah terjadi. Sementara masalahnya adalah di hulu yaitu bagaimana proses seseorang mengikuti ideologi ekstrim. Ini harus dilawan dengan kampanye konsep kenegaraan,” tutup Abraham.***