Jakarta – Ketua DPP PDI Perjuangan, Deddy Yevry Sitorus, menilai bahwa gugatan terhadap Surat Keputusan (SK) perpanjangan kepengurusan PDIP ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan langkah politik yang keterlaluan. Menurut Deddy, para penggugat tidak mengalami kerugian baik moril maupun materil atas gugatan tersebut. Ia melihat gugatan tersebut lebih sebagai upaya “penyerangan” terhadap PDIP.
Deddy menegaskan bahwa logika yang digunakan oleh para penggugat memiliki konsekuensi hukum yang sangat besar. Pada tahun 2019, PDIP mempercepat Kongres dan menyesuaikan mekanisme penyusunan pengurus di daerah untuk menyesuaikan dengan agenda politik nasional saat itu. Jika logika penggugat diterapkan, maka SK DPP PDI Perjuangan yang dikeluarkan pasca percepatan kongres menjadi tidak sah, termasuk keputusan terkait pemilihan kepala daerah.
Deddy juga menyoroti bahwa Gibran harus memenuhi syarat pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah jika ingin menjadi calon wakil presiden (cawapres). Oleh karena itu, jika keputusan PDIP pasca percepatan kongres dianggap tidak sah, maka pencalonan Gibran pun menjadi tidak sah.
Sebelumnya, SK perpanjangan kepengurusan PDIP yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk periode 2019-2024 yang diperpanjang hingga 2025 digugat ke PTUN Jakarta. Gugatan tersebut diajukan oleh empat orang yang mengaku sebagai kader PDIP, yaitu Pepen Noor, Ungut, Ahmad, dan Endang Indra Saputra.
Tim advokasi dari empat penggugat tersebut, Victor W Nadapdap, menyatakan bahwa gugatan diajukan karena SK tersebut bertentangan dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PDIP. Mereka menilai bahwa SK No M.HH-05.11.02 tahun 2024 yang memperpanjang masa bakti kepengurusan hingga 2025 di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri bertentangan dengan pasal 17 mengenai struktur dan komposisi DPP yang mengatur masa bakti selama 5 tahun. Menurut mereka, masa bakti kepengurusan DPP PDIP seharusnya berakhir pada 9 Agustus 2024 sesuai dengan AD/ART PDIP.