/

Sorop: Film Horor Perdana Upi yang Memicu Perdebatan!

2 mins read

Jakarta – Menyaksikan film “Sorop” bagi saya ibarat berlomba dengan waktu. Film horor perdana garapan Upi ini membuat saya harus berjuang melawan dorongan untuk meninggalkan bioskop, sembari tetap penasaran dengan akhir cerita yang disajikan. Sejak 30 menit pertama, keinginan untuk meninggalkan kursi sudah muncul. Bukan karena ketakutan akan banyaknya jumpscare yang disuguhkan Upi setiap beberapa menit, melainkan karena kebingungan terhadap alur cerita yang tidak jelas.

Upi, yang menulis cerita ini secara solo, tampaknya terlalu fokus merancang jumpscare yang ingin ditampilkan kepada penonton, alih-alih memperkuat fondasi cerita yang dibangun berdasarkan utas tak selesai dari SimpleMan. Saya menyadari bahwa Upi membangun ulang cerita “Sorop” dari utas tersebut. Ini adalah langkah kreatif yang menunjukkan integritas Upi sebagai sineas, bahwa adaptasi tidak harus sama persis dengan sumber aslinya seperti “KKN Di Desa Penari” (2022).

Gaya adaptasi Upi sudah terlihat sejak awal, dan meskipun berbeda jauh dari bayangan saya saat membaca utas tersebut, saya menyukainya. Hal ini menunjukkan bahwa gagasan cerita dari SimpleMan memiliki potensi besar untuk dikembangkan lebih lanjut, seperti halnya adaptasi dari novel.

Namun, kelemahan banyak sineas Indonesia adalah dalam mematangkan cerita yang mereka buat sendiri. Entah karena tidak memiliki pengulas yang bisa diajak diskusi, atau sudah dikejar produser untuk segera produksi demi keuntungan.

Saya juga bertanya-tanya, apakah karena ini adalah film horor pertama Upi, sehingga ia begitu bersemangat menyajikan semua jenis jumpscare di layar? Untuk sesaat, saya ingin berteriak “pelan-pelan bu sutradara!” di bioskop. Masalahnya, tidak semua jumpscare yang disediakan Upi efektif. Memang ada beberapa yang terasa pas, tetapi lebih banyak yang membuat saya refleks berucap “apasih?” hingga mengernyit, bukan bersemangat karena adrenalin yang terpacu oleh sajian horor.

Berita Lainnya  Siapa Nurra Datau? Pemeran Kai di series A+ atau A Plus ternyata anak artis senior ini

Cerita film “Sorop” yang dibuat Upi terasa kosong dan berputar-putar di tempat yang sama, seolah saya sebagai penonton ikut terjebak dalam time loop. Jika ada istilah slow burn, saya rasa ini terlalu lambat untuk disebut slow burn. Kenapa? Karena biasanya slow burn diakhiri dengan klimaks yang memukau, tetapi di sini tidak ada, atau mungkin sudah disediakan tetapi rasanya hambar.

Satu hal lagi yang membuat saya geleng-geleng kepala adalah tone warna visual. Jika saya menonton film ini di layar ponsel atau laptop, saya pasti akan menyetel brightness hingga tingkat tertinggi. Tone biru yang mayoritas digunakan oleh Upi dan Robie Taswin sebagai sinematografer membuat saya pusing. Saya hampir tidak bisa membedakan tone warna gambar dengan warna baju Hanif (Hana Malasan) yang tampaknya sama.

Selain itu, saya bingung dengan penggambaran rumah tempat cerita horor ini terjadi. Ada rumah yang begitu gelap, hingga warnanya biru dan muncul kabut tipis di ruang tengah? Melihat lampu meja di rumah itu berpendar, rasanya saya ingin masuk ke dalam layar bioskop dan menyalakan lampu di rumah Pakde Khair itu.

Belum lagi detail properti yang tidak sejalan dengan cerita. Misalnya, dalam adegan Hanif dan Isti (Yasamin Jasem) masuk kembali ke kamar masa kecil mereka. Untuk kamar yang ditinggal 10 tahun, saya kaget masih ada karya mewarnai keduanya yang tampak sangat baru seolah dibuat kemarin.

Berita Lainnya  Kocak! House tour bareng NCT DOJAEJUNG, Raffi Ahmad salto di kasur, Jaehyun malah salim ke Rafathar

Sebenarnya, tone warna kebiruan untuk situasi horor sudah biasa digunakan. Beberapa yang saya ingat adalah dalam film “The Exorcist” (1973) dan “The Conjuring 2” (2016). Keduanya ada pada adegan kamar yang menunjukkan teror mengerikan dari sosok demon. Namun, dalam dua film tersebut, tone ini masih diberikan dalam taraf nyaman bagi mata penonton. Penonton masih nyaman untuk melihat dengan jelas apa yang terjadi pada adegan tersebut. Sementara dalam “Sorop”, itu tidak terjadi. Setidaknya bagi mata saya.

Saya tidak akan mengomentari bagaimana kualitas akting para pemain yang bercampur baur dengan editan CGI yang kaku dan kasar. Bisa-bisa ulasan ini terlalu panjang berisi keluhan saya karena membahas dua hal itu. Meski Upi menyiksa saya dengan sajian “Sorop”, saya mengapresiasi usahanya mencoba tidak terjebak dalam gaya penuturan dan cerita yang dibangun oleh SimpleMan. Sayangnya, ia terperangkap dalam jumpscare yang ia buat sendiri.

Upi masih dengan niat membangun cerita Hanif dan Isti, dan tentu saja memberikan ending yang lebih jelas dibanding yang ada dalam utas yang memang dibuat tidak tuntas itu. Setidaknya, ada satu hal terjawab atas apa yang terjadi pada Hanif dan Isti.

Walaupun begitu, saya sejujurnya akan lebih memilih kembali mendengarkan cerita “Sorop” yang dituturkan oleh para podcaster di layanan streaming. Karena mereka jauh lebih bertutur, bikin merinding, dan tentu saja menghidupkan imajinasi saya sendiri.

Berita Terbaru

Mengenai Kami

Haluan.co adalah bagian dari Haluan Media Group yang memiliki visi untuk mencerdaskan generasi muda Indonesia melalui sajian berita yang aktual dan dapat dipercaya

Alamat
Jalan Kebon Kacang XXIX Nomor 02,
Tanah Abang, Jakarta Pusat
—–
Lantai IV Basko Grandmall,
Jl. Prof. Hamka Kota Padang –
Sumatera Barat

 0813-4308-8869
 [email protected]

Copyright 2023. All rights reserved.
Haluan Media Group 
slot gacor slot gacor hari ini slot gacor 2025 demo slot pg slot gacor slot gacor