Jakarta – Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengungkapkan bahwa rencana peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang dijadwalkan berlaku mulai tahun 2025, tetap sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pernyataan ini disampaikan untuk menepis berbagai spekulasi mengenai kemungkinan penundaan kebijakan tersebut.
Sri Mulyani menegaskan bahwa hingga saat ini, belum ada diskusi mengenai penundaan penerapan kenaikan pajak tersebut. Meskipun terdapat perdebatan di tengah masyarakat terkait dampak kenaikan pajak terhadap daya beli, Sri Mulyani menekankan pentingnya menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen penyangga dalam perekonomian.
Menteri Keuangan juga menyatakan dukungannya terhadap masukan dari anggota Komisi XI DPR RI mengenai perlunya pendekatan yang lebih baik dengan masyarakat, terutama kalangan bawah. Hal ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa pajak diperlukan untuk menjalankan program-program yang telah direncanakan dalam APBN serta memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Pemerintah, menurut Sri Mulyani, tidak menerapkan kebijakan pajak secara serampangan kepada semua lapisan masyarakat. Ada kelompok tertentu yang mendapatkan keringanan pajak, bahkan pembebasan pajak. Dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), terdapat banyak sektor yang dibebaskan dari pajak, seperti kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, hingga jasa keuangan.
Selain itu, pemerintah juga memberikan insentif pajak bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final dari 1 persen menjadi 0,5 persen.
