HALUAN.CO – Seorang pria berusia 59 tahun di Beijing mengalami peristiwa mengejutkan saat menjalani pemeriksaan medis rutin di Rumah Sakit Pertama Universitas Peking. Secara mendadak, ia merasakan nyeri dada hebat dan kesulitan bernapas. Setelah evaluasi medis, dokter mendiagnosisnya dengan kardiomiopati takotsubo, atau yang lebih dikenal sebagai sindrom patah hati. Kondisi ini, meskipun tergolong langka, sangat berbahaya karena gangguan mendadak pada jantung yang dipicu oleh stres emosional atau fisik yang ekstrem.
Beberapa bulan sebelumnya, pria ini telah menjalani operasi pengangkatan tumor kandung kemih. Walaupun tampak tenang di depan keluarga, kecemasan akan kemungkinan kambuhnya kanker terus menghantui pikirannya. Hal ini memperlihatkan bagaimana stres psikologis dapat berdampak serius pada kondisi fisik seseorang.
Nama “takotsubo” berasal dari alat penangkap gurita di Jepang, karena bentuk jantung yang menyerupai alat tersebut saat terkena sindrom ini. Ketika hormon stres seperti adrenalin dan katekolamin membanjiri tubuh, otot jantung melemah dan sebagian “membeku” dalam posisi abnormal. Gejala yang timbul mirip dengan serangan jantung, seperti nyeri dada, detak jantung cepat, serta irama jantung tidak stabil.
Meskipun lebih sering terjadi pada wanita, riset terbaru menunjukkan bahwa pria yang terkena sindrom ini memiliki tingkat kematian lebih tinggi. Sebuah studi besar yang dipublikasikan di Journal of the American Heart Association mengamati hampir 200.000 pasien di AS. Hasilnya, tingkat kematian pada pria dua kali lipat lebih tinggi dibanding wanita, yakni mencapai 11,2 persen.
Menurut Dr. Mohammad Reza Movahed dari University of Arizona, perbedaan hormonal diyakini menjadi salah satu faktor utama. Saat stres berat, tubuh melepaskan hormon fight-or-flight seperti katekolamin dalam jumlah besar. Jika kadarnya terlalu tinggi, jantung bisa mengalami syok sementara. Pria diperkirakan menghasilkan lebih banyak katekolamin saat stres dibanding wanita, sehingga lebih rentan terhadap kerusakan jantung akut.
Estrogen, hormon utama wanita, diduga memberikan perlindungan terhadap sistem kardiovaskular. Ini bisa menjelaskan mengapa wanita lebih sering mengalami takotsubo, namun lebih jarang mengalami komplikasi parah atau kematian. Selain itu, bias dalam diagnosis memperparah risiko pada pria, karena dokter sering tidak langsung menduga takotsubo pada pasien pria, sehingga pengobatan bisa terlambat.
Dr. Deepak Bhatt dari Mount Sinai Heart Hospital menegaskan bahwa keterlambatan diagnosis dapat berakibat fatal. “Jika diagnosis terlewat, perawatan bisa tertunda, dan dalam kasus ini, waktu sangat krusial,” tegasnya. Banyak pria kerap menunda pemeriksaan karena menganggap gejalanya ringan atau akan membaik sendiri. Namun, komplikasi yang dapat terjadi termasuk serangan jantung, stroke, pembekuan darah, hingga gagal jantung.
Menurut Dr. Alejandro Lemor dari University of Mississippi Medical Center, jika ditangani dengan cepat, sindrom ini sebenarnya bisa pulih sepenuhnya dalam hitungan minggu. Mengelola stres kronis melalui meditasi atau olahraga teratur sangat disarankan untuk menjaga kesehatan jantung dan kesiapan mental menghadapi situasi tak terduga.
Kisah pria di Beijing ini menjadi pengingat bahwa kesehatan mental dan fisik saling berkaitan erat. Stres berat tak hanya memengaruhi kondisi psikologis, tetapi juga dapat memicu kondisi fisik serius seperti sindrom patah hati. Oleh sebab itu, penting untuk memperhatikan kesehatan emosional dan segera mencari pertolongan medis jika mengalami gejala mencurigakan.