Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold telah memicu berbagai reaksi di kalangan masyarakat dan politisi. Keputusan ini dianggap sebagai langkah menuju demokrasi yang lebih murni, meskipun di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa hal ini justru akan memperluas praktik mahar politik.
Keputusan MK yang tertuang dalam putusan nomor 62/PUU-XXII/2024 ini memberikan kebebasan bagi partai politik untuk mencalonkan kandidat mereka sendiri tanpa harus berkoalisi. Hal ini disambut dengan euforia oleh sebagian pihak yang melihatnya sebagai langkah positif untuk membersihkan demokrasi dari dominasi politik mahar. Namun, tidak sedikit pula yang skeptis, mengingat potensi penyebaran praktik mahar politik yang lebih luas.
Ketua DPD Partai Gerindra Jakarta, Ahmad Riza Patria, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa partai-partai bisa saja terlibat dalam jual beli ‘perahu’ atau ‘tiket’ kepada kandidat yang ingin maju sebagai capres-cawapres. “Jangan sampai nanti terjadi jual beli tiket untuk capres. Akhirnya kan jadi pragmatis,” ujarnya.
Praktik jual beli tiket politik bukanlah hal baru. Pada Pilpres 2019, Sandiaga Uno, yang saat itu masih menjadi petinggi Gerindra, dituduh memberikan mahar politik kepada PAN dan PKS masing-masing sebesar Rp 500 miliar agar bisa mendampingi Prabowo sebagai cawapres. Tuduhan ini dilontarkan oleh Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Andi Arief, yang merasa kecewa karena Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum Partai Demokrat, tidak terpilih sebagai pasangan Prabowo.
Di tingkat pemilihan kepala daerah, praktik mahar politik juga marak terjadi. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa jual beli partai pendukung untuk calon pilkada sudah menjadi kebiasaan di kalangan elite. Bahkan, ada tawaran dari partai politik untuk menjegal pencalonan seseorang agar tercipta calon tunggal.
Penghapusan presidential threshold oleh MK bertujuan untuk mencegah pilpres diikuti oleh hanya satu pasangan calon. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, terdapat 37 pasangan calon tunggal pada Pilkada serentak 2024, mayoritas merupakan calon petahana.
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Herlambang Perdana Wiratraman, menilai bahwa keputusan MK ini tidak sepenuhnya menghapus praktik mahar politik, tetapi dapat menekannya. “Hal yang patut diapresiasi adalah putusan MK itu boleh dibilang agak ngerem urusan mahar politik. Kenapa? Karena partai politik bisa mencalonkan sendiri,” ujarnya.
Larangan terhadap praktik mahar politik sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun, penegakan hukum menjadi kunci untuk menekan praktik ini. Herlambang menekankan pentingnya penegakan hukum yang konsisten, bukan mengubah sistem atau menyalahkan keputusan MK.
Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar, atau Uceng, sependapat dengan Herlambang. Menurutnya, maraknya praktik mahar politik lebih disebabkan oleh lemahnya aturan dan penegakan hukum. “Kita selalu gagal mengatasi jual-beli perahu, lalu kemudian kita biarkan presidential threshold ada, menurut saya tidak begitu,” katanya.
Uceng juga menyoroti pentingnya memperketat proses verifikasi partai peserta pemilu oleh KPU. Dengan demikian, partai-partai baru tidak serta-merta bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden. Partai yang dapat mencalonkan capres-cawapres seharusnya adalah partai yang sudah memiliki pengalaman dan rekam jejak.
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT), Hadar Nafis Gumay, menambahkan bahwa selain verifikasi yang ketat, diperlukan juga aturan dan pengawasan ekstra-intensif terkait sumber keuangan partai politik dan dana kampanye.
Global Commission on Elections, Democracy & Security dalam laporannya menyebutkan bahwa pendanaan politik yang tidak terkontrol dan regulasi yang tidak memadai menjadi tantangan terbesar yang menghambat integritas pemilu. ICW mencatat bahwa partai politik cenderung hanya melaporkan sebagian kecil donasi dan pengeluaran mereka.
Sejak Pemilu 1999 hingga 2024, ICW konsisten menemukan anomali dalam pelaporan dana kampanye. Westminster Foundation for Democracy Limited (WFD) dalam laporannya juga menyoroti mahalnya biaya politik di Indonesia, yang disebabkan oleh sistem representasi proporsional dengan daftar terbuka.
Budaya jual beli suara yang semakin marak dan diterima menjadi faktor yang mengkhawatirkan. Kampanye kini lebih banyak tentang membagikan hadiah dan insentif uang sebagai imbalan atas suara, sebuah kenyataan yang tampaknya telah diterima oleh politisi dan sebagian besar masyarakat.
Dalam menghadapi tantangan ini, peran KPU dan Bawaslu sangat penting untuk menegakkan aturan dan memastikan integritas pemilu. Dengan penegakan hukum yang ketat dan pengawasan yang intensif, diharapkan praktik mahar politik dapat ditekan dan demokrasi yang lebih murni dapat terwujud.