Jakarta – Donald Trump kembali menorehkan kemenangan dalam pemilihan presiden Amerika Serikat, sebagaimana dilaporkan oleh berbagai media. Berdasarkan laporan dari New York Times, Trump berhasil mengantongi 50,9 persen atau sekitar 72 juta suara populer. Selain itu, ia juga mengumpulkan 295 suara elektoral, mengungguli Kamala Harris.
Namun, kemenangan ini tidak terlepas dari sorotan publik. Status Trump sebagai terdakwa dalam beberapa kasus hukum menjadi perhatian utama. Trump didakwa dalam kasus upaya membatalkan hasil pemilu di Georgia pada 2020, kasus pembayaran uang tutup mulut kepada bintang porno, serta menyembunyikan dokumen rahasia.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah status terdakwa Trump dapat dibatalkan setelah ia terpilih kembali sebagai presiden. Kemenangan Trump kali ini diperkirakan dapat mengakhiri tuntutan terhadapnya terkait upaya membatalkan pemilu 2020.
Di New York, Hakim Juan Merchan dijadwalkan akan menjatuhkan vonis terhadap Trump atas 34 dakwaan pemalsuan catatan bisnis terkait pembayaran uang tutup mulut kepada Stormy Daniels selama kampanye 2016. Keputusan ini dijadwalkan pada 26 November, dengan batas waktu hingga 12 November bagi Merchan untuk memutuskan apakah akan menghapus hukuman Trump atau menjatuhkan vonis.
Keputusan hakim ini menjadi perhatian karena Mahkamah Agung sebelumnya telah memutuskan mengenai kekebalan presiden. Jika Merchan memutuskan untuk menghapus hukuman, dakwaan terhadap Trump akan dibatalkan. Namun, jika putusan tetap dipertahankan, Trump bisa menghadapi hukuman penjara hingga empat tahun.
Jika hakim memutuskan untuk menjatuhkan hukuman, tim hukum Trump diperkirakan akan menunda vonis untuk mengajukan banding. Pengacara Trump kemungkinan akan menyusun permohonan banding dengan mengangkat isu konstitusional mengenai apakah hakim negara bagian dapat memvonis presiden terpilih. Proses hukum ini bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Jika pengadilan menolak banding, tim hukum Trump berencana mengajukan banding atas keputusan kekebalan presiden ke pengadilan banding negara bagian dan Mahkamah Agung. Mereka akan meminta pengadilan menunda vonis hingga semua banding selesai.
Pada 2023, Penasihat Khusus Kementerian Kehakiman Jack Smith mengajukan kasus federal terhadap Trump di Washington DC dan Florida. Di Washington DC, Trump didakwa karena berupaya membatalkan kekalahannya dalam pemilu 2020. Kasus ini terhenti setelah Trump meminta kekebalan hukum dari pengadilan federal.
Di Florida, Smith menuduh Trump mengambil dokumen rahasia secara ilegal dari Gedung Putih dan menolak mengembalikannya. Namun, Hakim Aileen Canon menolak kasus ini. Smith saat ini sedang berdiskusi dengan pimpinan Kementerian Kehakiman AS untuk menyelesaikan dua kasus yang menjerat Trump.
Trump juga menghadapi dakwaan di Georgia terkait upaya membatalkan hasil pilpres 2020. Kasus ini ditangani oleh Jaksa Fulton County, Fany Wills, dan saat ini ditunda. Nasib Trump bergantung pada kondisi jaksa Wills, yang bisa saja didiskualifikasi dari penuntutan.
Jika Wills disingkirkan, kemungkinan kecil jaksa lain bersedia menangani kasus ini. Jika tidak ada yang menangani, kasus ini bisa hilang begitu saja. Sumber yang mengetahui kasus ini menyatakan bahwa tidak mungkin hakim negara bagian akan melanjutkan proses hukum saat Trump menjabat sebagai presiden.
Selain kasus pidana, Trump juga menghadapi tuntutan hukum perdata yang diajukan oleh anggota parlemen Demokrat terkait perannya dalam serangan Capitol pada 6 Januari. Ada kemungkinan kasus ini akan terus berlanjut meskipun Trump menjabat kembali di Gedung Putih.
Dalam putusan Mahkamah Agung tahun 1997, para hakim memutuskan bahwa presiden yang sedang menjabat tidak dapat menggunakan kekebalan presiden untuk menghindari gugatan perdata.
