Jakarta – Ekonom mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait kekhawatirannya atas fenomena gig economy yang dinilai dapat melanggengkan praktik pekerja kontrak. Mereka menilai, meskipun Jokowi mengkhawatirkan fenomena ini, ia justru berperan besar dalam memperparah masalah tersebut di Indonesia.
Peran besar Jokowi terlihat melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Para ekonom menilai bahwa undang-undang ini turut memperparah tren gig economy di Indonesia.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyoroti peran Jokowi dalam memperparah fenomena gig economy melalui UU Cipta Kerja. Menurut Huda, undang-undang ini menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya jumlah pekerja freelance atau karyawan kontrak.
Huda mengakui bahwa fenomena gig economy memang tumbuh seiring dengan perkembangan teknologi. Selain itu, usia penduduk yang muda juga turut mendorong perkembangan gig worker. Namun, ia mengkritisi sikap Jokowi yang mewaspadai fenomena tersebut tanpa memberikan solusi yang tepat.
Huda menyebut bahwa UU Cipta Kerja seharusnya lebih mendorong peningkatan perlindungan sosial bagi pekerja gig dengan berbagai skema pembiayaan perlindungan sosial. Namun, sayangnya, pada Bab IV UU Cipta Kerja yang mengatur tentang Ketenagakerjaan, aturannya malah melanggengkan praktik kerja kontrak hingga outsourcing.
Pasal 81 poin 15 UU Cipta Kerja, misalnya, menghapus batasan karyawan kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Padahal, pasal 59 ayat 1 UU Ketenagakerjaan lama mengatur bahwa perusahaan hanya boleh mempekerjakan karyawan kontrak paling lama 3 tahun.
Sedangkan, UU Cipta Kerja hanya menekankan bahwa jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu alias PKWT ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja. Dengan begitu, bahaya kontrak seumur hidup membayang-bayangi nasib pekerja.
Pada akhirnya, Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 yang mengatur batasan waktu bagi pengusaha untuk mempekerjakan karyawan dengan skema kontrak. Namun, jangka waktunya tetap lebih lama dari yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mewaspadai bahaya gig economy yang mengancam nasib pekerja. Ia mengartikan fenomena tersebut sebagai ekonomi serabutan yang timbul seiring pesatnya kemajuan teknologi.
Mengacu dari berbagai sumber, gig economy merujuk pada sistem kerja di mana pekerja dipekerjakan untuk proyek-proyek jangka pendek atau kontrak sementara. Istilah ‘gig’ berasal dari bahasa Inggris, yang menggambarkan pekerjaan seperti musisi yang dibayar per penampilan, bukan per bulan.
Jokowi menuding gig economy sebagai ancaman nyata bagi pekerja di Indonesia. Menurutnya, perusahaan akan cenderung lebih senang merekrut pekerja lepas atau freelancer ketimbang karyawan tetap. Karena fleksibilitas waktu, seorang pekerja dalam fenomena gig economy juga bisa bekerja di lebih dari satu negara. Jokowi menyebut kondisi ini akan mengancam lapangan pekerjaan untuk calon pekerja lain.
Jokowi meramal kondisi masa depan Indonesia dan negara global yang bakal mengalami kondisi minim peluang kerja dibandingkan jumlah pelamar. Fenomena ini, menurutnya, akan semakin memperparah ketimpangan di pasar tenaga kerja.