Jakarta – Dunia masih berjuang untuk sepenuhnya terbebas dari belenggu COVID-19. Baru-baru ini, para ilmuwan mengidentifikasi varian baru SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19, yang dinamakan ‘XEC’. Varian ini diyakini memiliki tingkat penularan yang lebih tinggi dibandingkan varian lainnya.
Varian XEC pertama kali terdeteksi di Jerman pada bulan Juni lalu. Sejak itu, varian ini telah menyebar ke 27 negara, termasuk Inggris, Denmark, Polandia, Portugal, dan China. Di Amerika Serikat dan Kanada, prevalensi varian XEC masih relatif rendah. Namun, para ahli memperingatkan bahwa varian ini memiliki potensi untuk menjadi varian dominan baru.
Menurut Topol, butuh waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan sebelum varian XEC mencapai tingkat prevalensi yang tinggi dan memicu gelombang baru infeksi. Para ahli mengungkapkan bahwa varian XEC merupakan kombinasi dari subvarian Omicron KS.1.1 dan KP.3.3. KS.1.1 adalah varian FLiRT yang telah berkontribusi pada peningkatan kasus COVID-19 di seluruh dunia. Sementara itu, KP.3.3 adalah jenis FLuQE, yang mengalami mutasi pada asam amino glutamin menjadi asam glutamat, sehingga meningkatkan kemampuan virus untuk menginfeksi sel tubuh.
Meskipun lebih menular, varian XEC kemungkinan tidak akan seberbahaya beberapa varian pendahulunya. Francois Balloux, Direktur Genetics Institute di University College London, menyatakan bahwa vaksin yang ada saat ini masih dapat memberikan perlindungan terhadap varian baru ini. Gejala yang ditimbulkan oleh varian XEC tidak jauh berbeda dengan strain sebelumnya, antara lain:
- Demam
- Kelelahan
- Sakit kepala
- Sakit tenggorokan
- Nyeri tubuh
- Susah tidur
- Pilek
- Penurunan nafsu makan