Wacana Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD: Ancaman bagi Demokrasi Indonesia

1 min read

Gagasan untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat dan memicu perdebatan sengit di berbagai kalangan. Ide ini pertama kali diusulkan oleh Ketua Umum Golkar dan mendapat dukungan dari Presiden RI, Prabowo. Alasan yang dikemukakan meliputi efisiensi biaya, pengurangan potensi konflik horizontal, dan peningkatan efektivitas pemerintahan. Namun, banyak pihak menilai bahwa perubahan ini dapat mengurangi partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi dan membuka peluang lebih besar bagi praktik politik transaksional.

Dr. Yance Arizona, seorang pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada, mengkritik tajam wacana ini. Menurutnya, ini adalah tanda nyata kemunduran demokrasi di Indonesia. Yance berpendapat bahwa jika ide ini direalisasikan, maka akan menjadi langkah awal dalam merusak kelembagaan demokrasi yang telah dibangun sejak era reformasi.

Yance menyoroti beberapa dampak negatif jika pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD. Pertama, dari sisi politik, hal ini akan menghilangkan hak politik warga untuk memilih pemimpin daerah secara langsung. “Dalam 20 tahun terakhir, banyak pemimpin daerah yang lahir karena dipilih langsung oleh rakyat,” ujar Yance. Ia menambahkan bahwa wacana ini menunjukkan lemahnya komitmen dari mereka yang terpilih secara demokratis untuk melembagakan demokrasi.

Berita Lainnya  Kaesang Ungkap! Jokowi Siap Ramaikan Kampanye Pilkada Bali!

Selain itu, Yance menyoroti bahwa akan ada faktor determinan dari partai politik dalam menentukan kepala daerah. Partai politik di Indonesia yang cenderung sentralistik akan membuat keputusan DPP diikuti oleh anggota partainya di daerah. Hal ini menguntungkan partai-partai besar dan merugikan partai menengah dan kecil. “Partai-partai menengah dan kecil seharusnya tidak mendukung wacana ini karena mereka tidak akan mendapatkan keuntungan apapun,” jelas Yance.

Salah satu alasan yang mendukung wacana ini adalah penghematan dana pilkada dan upaya memutus praktik politik uang. Namun, Yance berpendapat bahwa masalah ini dapat diatasi dengan efisiensi anggaran politik, seperti mengurangi pembiayaan perjalanan dinas dan rapat rutin selama pilkada. Dana yang dihemat dapat dialokasikan untuk pengawasan dan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Yance menekankan pentingnya pemerintah untuk memperbaiki efisiensi anggaran dan menindak tegas pelaku politik uang melalui lembaga berwenang.

Berita Lainnya  Dengan Bismillah, Rijal Nyatakan Kembali Maju untuk Menang di Pileg DPRD Lebak Dapil IV

Yance menegaskan perlunya desakan kuat dari masyarakat untuk menolak perubahan sistem pilkada ini, yang dianggap hanya sebagai upaya untuk menghilangkan suara rakyat dan mensentralisasikan kekuasaan. Ia juga menyoroti kondisi politik saat ini, di mana aparatur negara yang seharusnya netral justru menunjukkan keberpihakan dalam kampanye dan mengkondisikan calon kepala daerah yang diinginkan. Situasi ini akan semakin memburuk jika wacana perubahan sistem pilkada diloloskan. “Ke depan, akan sangat mudah bagi pemerintah untuk menentukan siapa yang menjadi kepala daerah, sehingga rakyat perlu menyuarakan penolakan mereka,” pungkas Yance.

Berita Terbaru

Mengenai Kami

Haluan.co adalah bagian dari Haluan Media Group yang memiliki visi untuk mencerdaskan generasi muda Indonesia melalui sajian berita yang aktual dan dapat dipercaya

Alamat
Jalan Kebon Kacang XXIX Nomor 02,
Tanah Abang, Jakarta Pusat
—–
Lantai IV Basko Grandmall,
Jl. Prof. Hamka Kota Padang –
Sumatera Barat

 0813-4308-8869
 [email protected]

Copyright 2023. All rights reserved.
Haluan Media GroupÂ