Jakarta – Parlemen Korea Selatan secara resmi memakzulkan Presiden Yoon Suk Yeol melalui pemungutan suara yang berlangsung pada Sabtu (14/12). Dalam hasil voting tersebut, sebanyak 204 anggota parlemen menyatakan setuju, 85 menolak, 3 abstain, dan 8 suara dinyatakan tidak sah. Keputusan ini menandai momen penting dalam sejarah politik Korea Selatan.
Hanya beberapa jam setelah pemakzulan, Yoon Suk Yeol dibebastugaskan dari jabatannya sebagai presiden. Posisi kepala negara dan eksekutif sementara diambil alih oleh Perdana Menteri Han Duck Soo. Langkah ini diambil untuk memastikan stabilitas pemerintahan selama proses hukum berlangsung.
Saat ini, keputusan pemakzulan Yoon sedang ditinjau oleh para hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) Korea Selatan. Proses ini bertujuan untuk menentukan keabsahan pemakzulan tersebut. Biasanya, peninjauan ini memakan waktu hingga 180 hari atau sekitar enam bulan. Namun, situasi ini menjadi lebih rumit karena saat ini hanya ada enam hakim yang aktif dari seharusnya sembilan.
Untuk meloloskan pemakzulan, semua hakim harus sepakat secara bulat. Jika ada satu hakim yang tidak setuju, maka pemakzulan ini tidak sah secara hukum dan kekuasaan akan kembali ke tangan Yoon Suk Yeol, seperti yang dilaporkan oleh The Guardian. Namun, jika MK mengesahkan pemakzulan, Korea Selatan harus menggelar pemilu setidaknya 60 hari setelah putusan keluar.
Berdasarkan perhitungan, Korea Selatan kemungkinan akan memiliki presiden baru pada Agustus 2025. Perkiraan ini didasarkan pada waktu yang dibutuhkan MK untuk memutuskan, yaitu hingga 180 hari, ditambah aturan yang mengharuskan pemilu digelar dua bulan setelah putusan. Situasi ini menambah ketidakpastian politik di negara tersebut.
Kekacauan politik ini semakin diperparah setelah Yoon Suk Yeol mendeklarasikan darurat militer pada 3 Desember, yang hanya berlangsung selama enam jam. Deklarasi tersebut langsung ditentang oleh parlemen yang mengeluarkan resolusi penolakan melalui sidang pleno. Dalam pidatonya, Yoon mengakui bahwa darurat militer tersebut merupakan peringatan bagi oposisi di parlemen, yang selama ini sering mengalami kebuntuan dalam membahas agenda pemerintahan.