Jakarta – Dalam sebuah pernyataan yang menggugah perhatian, Nasir Djamil, anggota Komisi III DPR, menegaskan bahwa tidak ada ketentuan spesifik mengenai asal-usul pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap terpilihnya pimpinan KPK yang didominasi oleh individu dengan latar belakang aparat penegak hukum.
Menurut Nasir, Undang-undang KPK tidak mengharuskan pimpinan berasal dari institusi tertentu, menandakan bahwa pemilihan pimpinan KPK tidak terikat pada representasi institusi tertentu.
Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, mengkritik keputusan Komisi Hukum DPR dalam memilih lima pemimpin KPK periode 2024-2029. IM57+ adalah organisasi nonpemerintah yang terdiri dari mantan penyidik KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan setelah revisi UU KPK.
Lakso menilai bahwa DPR tidak berkomitmen untuk mengembalikan marwah KPK dengan memilih pimpinan tanpa keterwakilan masyarakat sipil. Menurutnya, komposisi pimpinan KPK yang baru menunjukkan kurangnya komitmen DPR dan pemerintahan Prabowo Subianto dalam mendorong reformasi KPK, yang merupakan kunci penting dalam pemberantasan korupsi saat ini.
Sebelumnya, Komisi III DPR telah memilih lima pimpinan KPK periode 2024-2029 melalui pemungutan suara. Lima pimpinan yang terpilih adalah Fitroh Rohcahyanto, Johanis Tanak, Setyo Budiyanto, Agus Joko Pramono, dan Ibnu Basuki Widodo.
Setyo Budiyanto adalah perwira tinggi kepolisian yang saat ini menjabat sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian. Fitroh dan Tanak berasal dari Kejaksaan Agung, dengan Fitroh pernah menjabat sebagai Direktur Penuntutan KPK sebelum kembali ke Kejaksaan Agung pada 2023. Tanak masih menjabat sebagai Wakil Ketua KPK periode 2019-2024.
Ibnu Basuki adalah Hakim Tinggi Pemilah Perkara di Mahkamah Agung, yang pernah menjadi kontroversi ketika memvonis bebas terdakwa korupsi pada 2014. Agus Joko Pramono adalah mantan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan dan guru besar Ilmu Akuntansi bidang Publik di Universitas Jenderal Soedirman.
Lakso menilai beberapa dari lima nama tersebut merupakan figur yang bermasalah, seperti Johanis Tanak yang beberapa kali dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK karena dugaan pelanggaran kode etik.
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menyatakan bahwa proses pemilihan pimpinan KPK berlangsung secara demokratis dan transparan. Ia mengklaim bahwa nama-nama yang terpilih merupakan pilihan setiap anggota DPR tanpa intervensi.
Habiburokhman tidak memberikan tanggapan mengenai komposisi pimpinan KPK yang didominasi oleh individu berlatar belakang aparat penegak hukum, serta ketiadaan perwakilan perempuan dan masyarakat sipil.