Jakarta – Dalam laporan terbaru yang dirilis oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) atau Pentagon pada Rabu (18/12), terungkap bahwa Cina sedang memperluas kekuatan nuklirnya secara signifikan. Langkah ini disertai dengan peningkatan tekanan militer terhadap Taiwan dan penguatan hubungan dengan Rusia selama setahun terakhir. Seorang pejabat senior pertahanan AS, yang memilih untuk tidak disebutkan namanya, menyatakan bahwa Beijing tengah berupaya mengembangkan kekuatan nuklir yang lebih beragam dan canggih secara teknologi.
Meskipun demikian, laporan tersebut juga menyoroti adanya serangkaian tuduhan korupsi dalam Komisi Militer Pusat Cina, yang mengawasi Tentara Pembebasan Rakyat. Tuduhan ini dinilai merugikan pertumbuhan militer Beijing dan berpotensi memperlambat kampanye modernisasi mereka. AS mendesak Cina untuk lebih transparan mengenai program nuklirnya, sembari memperingatkan bahwa AS akan tetap membela sekutu-sekutunya dan tidak akan ragu mengambil langkah yang sesuai sebagai tanggapan.
Menurut laporan tersebut, hingga Mei 2024, Cina memiliki lebih dari 600 hulu ledak nuklir aktif. AS memperkirakan jumlah ini akan meningkat menjadi lebih dari 1.000 pada tahun 2030. Menanggapi hal ini, Kedutaan Besar Cina menegaskan bahwa negara tersebut selalu berpegang pada strategi nuklir untuk membela diri, mengikuti kebijakan tidak menggunakan nuklir terlebih dahulu, dan mempertahankan kemampuan nuklirnya pada tingkat minimum yang diperlukan untuk keamanan nasional.
Laporan Pentagon juga mengungkapkan bahwa Cina telah mendukung perang Rusia melawan Ukraina dengan menjual barang-barang berfungsi ganda yang diandalkan oleh industri militer Moskow. Barang-barang ini dapat digunakan untuk keperluan sipil dan militer. Upaya Departemen Perdagangan AS untuk membatasi akses Cina dan Rusia terhadap cip komputer canggih buatan AS dinilai tidak memadai, menurut laporan yang diterbitkan oleh Subkomite Investigasi Senat AS.
Sementara itu, laporan tersebut menyebutkan bahwa Cina telah menciptakan jaringan penyelundupan besar yang hampir tidak terselubung untuk memanfaatkan teknologi AS. Washington secara bertahap memperluas daftar perusahaan Cina yang terkena kontrol ekspor negaranya. Namun, perusahaan-perusahaan Cina telah menemukan cara untuk menghindari kontrol ekspor tersebut, sebagian karena kurangnya ahli penutur bahasa Cina.
Ketua Subkomite sekaligus Senator Partai Demokrat, Richard Blumenthal, menyatakan bahwa AS telah gagal mengontrol ekspornya. Ia mendesak Departemen Perdagangan untuk segera mengambil langkah dan menindak perusahaan-perusahaan yang membiarkan semikonduktor buatan AS digunakan untuk mendukung senjata Rusia dan ambisi Cina. Pemerintahan Biden memberlakukan kontrol ekspor tersebut untuk membatasi kemampuan Cina dan Rusia mengakses cip buatan AS, sebagai dampak dari invasi Rusia ke Ukraina.
Pemerintahan Biden berusaha menjaga keseimbangan dengan Cina, membangun kehadiran militer AS di kawasan Asia-Pasifik untuk bersiap menghadapi Beijing, sekaligus mendorong adanya komunikasi antara kedua negara di tingkat diplomatik dan militer. AS menganggap aktivitas Cina yang masih melakukan penerbangan di area pasukan AS dan sekutunya di kawasan itu sebagai ancaman.
Strategi pertahanan nasional Pentagon AS berfokus pada Cina sebagai tantangan keamanan terbesar negara itu. Ancaman dari Beijing juga mempengaruhi cara militer AS dipersiapkan dan diatur untuk menghadapi tantangan di masa depan. Pekan lalu, pengerahan sekitar 90 kapal angkatan laut dan penjaga pantai Cina di perairan sekitar Taiwan memicu kekhawatiran, ketika pejabat Taiwan mengatakan itu tampak seperti simulasi blokade, yang dirancang untuk menunjukkan bahwa perairan itu milik Cina.