Jakarta – Model ekonomi sirkular diyakini akan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan di masa depan. Namun, pelaksanaannya masih menghadapi berbagai tantangan baik di Indonesia maupun di tingkat global.
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)/Kementerian PPN, Vivi Yuliawati, menyatakan bahwa skema ekonomi sirkular semakin menjadi tren setelah pandemi Covid-19 dan munculnya krisis iklim. Indonesia menjadi salah satu negara yang serius menjajaki skema ini.
Vivi mengungkapkan bahwa ekonomi sirkular berpotensi menciptakan 4,4 juta lapangan pekerjaan baru. Selain itu, tren ekonomi ini dapat mengurangi dampak buruk pembangunan terhadap lingkungan.
Menurut website Bappenas, ekonomi sirkular adalah model ekonomi yang bertujuan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi dengan mempertahankan nilai produk, bahan, dan sumber daya selama mungkin. Tujuan akhir dari ekonomi sirkular yakni untuk meminimalisir dampak sosial dan lingkungan yang dipicu oleh pendekatan ekonomi linear.
Vivi menjelaskan bahwa Bappenas memiliki sejumlah strategi dalam mengembangkan ekonomi sirkular di Indonesia. Bappenas telah menerbitkan dua dokumen mengenai strategi mengarusutamakan model ekonomi ini pada RPJMN 2025-2029.
Saat ini, Bappenas juga sedang menyiapkan pelaksanaan proyek percontohan (pilot project) ekonomi sirkular. Vivi menyebutkan bahwa akan ada lima daerah yang menjadi lokasi uji coba tersebut.
Meski demikian, pengembangan ekonomi sirkular bukan tanpa tantangan. Vivi mencatat bahwa kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai model ekonomi ini menjadi tantangan tersendiri. Selain itu, model ekonomi ini kerap disederhanakan menjadi sekadar daur ulang limbah. Padahal, model ekonomi sirkular mencakup hal yang lebih luas, seperti perubahan perilaku konsumen.
World Trade Organization (WTO) menyatakan bahwa tantangan terkait penerapan ekonomi sirkular juga terjadi di tingkat global. Salah satu masalah yang muncul adalah restriksi di sejumlah negara. Selain karena fragmentasi global, larangan impor barang hasil ekonomi sirkular juga muncul dikarenakan definisi yang belum seragam.
Head of Technical Barriers to Trade WTO, Erik Wijkstrom, menuturkan bahwa banyak negara khawatir negaranya hanya akan menjadi ‘tempat pembuangan’ barang bekas dengan dalih ekonomi sirkular. Larangan serupa sudah muncul di Brasil dan China.
Karenanya, Erik menilai dibutuhkan kerja sama global dan definisi yang lebih jelas tentang barang-barang yang masuk dalam kategori ekonomi sirkular. Selain itu, kerja sama antar negara juga perlu dipererat dengan meningkatkan kepercayaan agar paradigma perekonomian ini dapat berhasil dijalankan.
International Organization for Standardization (ISO) mengakui adanya masalah standarisasi ini. Meski demikian, ISO sebenarnya sudah mengklasifikasi barang-barang ekonomi sirkular dalam rumpun ISO 59000.
Konsultan ahli ISO, Adrian Kuah, menjelaskan bahwa lembaganya menggunakan istilah barang-barang ekonomi sirkular dengan sebutan ‘sumber daya’. Hal ini dilakukan untuk mengubah perspektif yang menganggap barang-barang tersebut sebagai limbah.