Jakarta – Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengambil langkah berani dengan membubarkan parlemen pada bulan Juni lalu. Keputusan ini diambil setelah partainya hanya meraih setengah dari suara yang diperoleh oleh partai sayap kanan Rassemblement National dalam pemilihan parlemen Uni Eropa, yang menempatkan partai tersebut di posisi teratas. Sebagai langkah lanjutan, Macron menunjuk Michel Barnier sebagai perdana menteri baru, meskipun tidak ada dukungan mayoritas di parlemen.
Pada hari Rabu (04/12), partai oposisi mengajukan mosi tidak percaya yang berhasil menjatuhkan pemerintahan Barnier. Situasi ini memicu krisis pemerintahan di Prancis, yang berpotensi menjerumuskan negara tersebut ke dalam krisis ekonomi yang serius.
Secara umum, perekonomian Prancis menunjukkan tanda-tanda positif akhir-akhir ini. Tahun ini, pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 1,1 persen, sementara perekonomian Jerman diperkirakan menyusut sebesar 0,2 persen. Angka inflasi juga menurun menjadi sekitar dua persen, dibandingkan dua tahun lalu yang masih di atas lima persen. Tingkat pengangguran mencapai 7,4 persen, yang dianggap cukup baik untuk Prancis.
Namun, Denis Ferrand, kepala lembaga penelitian ekonomi Rexecode yang berbasis di Paris, menyoroti bahwa angka-angka positif ini tidak dapat menyembunyikan kelemahan mendasar dalam perekonomian Prancis. Survei yang dilakukan oleh perusahaan konsultan Inggris Ernest & Young (EY) terhadap 200 pimpinan perusahaan internasional menunjukkan bahwa sekitar setengah dari mereka telah mengurangi atau menunda rencana investasi di Prancis. Padahal, sejak tahun 2019, Prancis telah menjadi negara Eropa yang paling banyak menarik investasi internasional.
Philippe Druon, pengacara kebangkrutan di firma hukum Paris Hogan Lovells, mengonfirmasi sikap hati-hati para investor. Jumlah kebangkrutan yang tengah terjai mendekati jumlah krisis keuangan internasional pada tahun 2008. Diperkirakan sekitar 65.000 perusahaan akan mengajukan status kebangkrutan di tahun ini, dibandingkan dengan jumlah sekitar 56.000 pada tahun lalu. Selain itu, tingginya suku bunga di pasar modal membuat investasi semakin sulit untuk dibiayai.
Setelah mosi tidak percaya berhasil menjatuhkan pemerintahan PM Barnier, ada kemungkinan anggaran dari tahun 2024 akan diterapkan untuk tahun depan. Sejak tahun 1960-an, Prancis memang tidak mengenal pemerintahan koalisi.
Christopher Dembik, penasihat investasi di perusahaan Swiss Pictet Asset Management cabang Paris, berpendapat bahwa isu kebangkrutan Prancis terlalu dibesar-besarkan. Menurutnya, kecenderungan tersebut belum terlihat di pasar keuangan.
Namun, ekonom Dennis Ferrand kurang yakin bahwa Prancis tidak akan terjerumus ke dalam krisis keuangan. Utang Prancis saat ini sudah lebih tinggi dari produk domestik brutonya, menambah kekhawatiran akan stabilitas ekonomi negara tersebut.