Jakarta – Penyakit tidak selamanya harus dipandang sebagai bencana yang layak disesali. Dalam perspektif Islam, kehadiran penyakit sering kali membawa hikmah, tidak hanya untuk kehidupan dunia, tetapi juga untuk kehidupan akhirat.
Kisah Nabi Ayub AS menjadi teladan nyata dalam menghadapi penyakit dengan kesabaran. Selama bertahun-tahun, Nabi Ayub AS berjuang melawan penyakitnya dengan penuh ketabahan. Meskipun orang-orang terdekatnya menjauh satu per satu, beliau tetap sabar dan tidak mengeluh.
Berbeda dengan kisah Nabi Ayub AS, cucu Rasulullah SAW, Ali Zainal Abidin, memberikan sudut pandang lain tentang kesehatan dan penyakit. Ia sering kali merasa bingung, mana yang lebih patut disyukuri antara sehat dan sakit. Bagi Ali Zainal Abidin, keduanya adalah nikmat. Ketika sehat, ia bisa memperoleh rezeki dari Allah SWT dan melakukan ketaatan dengan leluasa. Namun, ketika sakit, dosa-dosanya diampuni dan hatinya menjadi lebih suci.
Dalam Islam, ketika Allah SWT berkehendak, tidak ada yang dapat menghalanginya. Manusia hanya dituntut untuk berikhtiar, sementara hasilnya tetap menunggu ketentuan Allah SWT. Keluh kesah tidak akan mendatangkan manfaat, sebaliknya justru menambah dosa dan kesedihan. Oleh karena itu, penyakit harus dihadapi dengan kesabaran dan keimanan. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran, “Dan Kami memberikan cobaan kepada kalian dengan kejelekan dan kebaikan sebagai fitnah (ujian).” (QS Al-Anbiya: 35).
Ibnu Katsir, seorang ulama terkemuka, menafsirkan ayat tersebut dengan menjelaskan bahwa Allah SWT menguji manusia terkadang dengan musibah, dan di waktu lain dengan kenikmatan. Tujuannya yakni untuk mengetahui siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur, siapa yang sabar dan siapa yang putus asa.